Senin, 02 Desember 2013

kopi hitam yg tak selalu kejam


Aku menyebut ini lebih dari sekedar sensasi. Ketika mata lelah memandang, hati lelah memangku, dan mulut segan bergumam. Aku tak mau menyebut ini dengan satu kata menyerah, tapi setidaknya aku masih punya hak untuk mengajukan banding pada Tuhan. 

Entah harus pada Tuhan, atau mungkin saja keadaan, sungguh aku tak mau tau, karena yang pasti mereka telah memaksaku menyublim bersama tetes-tetes embun. Ku kayuh lagi sisa harapan yang ada, berharap sedikit sisa tertinggal. Namun jenuh sudah lelah memanja, semua tak kunjung padam. Aku masih saja serupa boneka ditangan mereka yang  tak selayaknya sepakat. Seakan memayungi hujan, aku tetap basah dan kalah.

Aku berjalan menepi, sendiri dan sungguh aku membenci ini. Ketika ketakutan datang tak pernah permisi, otak ku susah sekali terkendali. Bermacam pikiran-pikiran tak bertuan berjejal masuk dan menyiksa. Aku tak bisa lari ataupun sembunyi, dimanapun....karena apa yg terhindarkan pasti akan menjumpai lagi, entah itu nanti atau waktu yang tak bisa dimengerti.

Aku sungguh telah dibuat mati suri oleh pikiranku sendiri. Aku lelah, aku mengantuk, dan aku ingin bersandar, sejenak, sebentar saja. Tapi ijin itu tak kunjung aku dapatkan. Seperti terpidana yang tak terjamah oleh pilihan, selain harus memilih, pilihan yang ada. Aku bosan menunggu, karena menunggu hanya membuat aku mati rasa. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tertahan, tercecik oleh sesuatu yang tak ku tau itu apa. Ini hukumankah? Atau ini apa? Hukuman atas apa? 
Aku haus.....haus akan penjelasan- penjelasan yang seharusnya aku punya, aku dapat, aku terima.

Segelas kopi mengajarkan aku untuk bersabar. Menanti kepulan panas itu menguap menjadi hangat dan siap untuk ku peluk. Segelas kopi mengajarkan aku warna, untuk tidak memandang hitam serupa kelam. Segelas kopi memberiku arti, dalam diam dia banyak bercerita. Segelas kopi adalah pendengar yang setia, tanpa banyak bicara dan menatap ragu. Segelas kopi bilang, pahit itu hanya soal waktu, dan manis itu hanya serupa ukuran. Segelas kopi tersenyum dan menyapaku selalu dengan hati, tak pernah lari, karena hanya dia yang setia. 

Aku merindukan segelas kopi disetiap pagiku. Menemaniku memilih warna ketika sesaat buta warna menenggelamkanku dalam hitam putih. Segelas kopi memainkan sebuah lagu yang ku butuh ketika ku terjatuh, dia memutarnya, keras dan bahkan menjadi terlampau keras ketika tuli menenggelamkanku dalam not-not dan birama.
Segelas kopi memberiku rasa manis yang tak terduga dari balik pekatnya hitam. Dan kopi hitam itu tak pernah kejam, tak pernah membuatku menangis. Kopi memelukku dengan tenang, memberiku damai dan menemaniku dalam gusar. Selamat datang hitam...kau kokohkan aku dalam hebatmu, kau panaskan asa ku dan menemaninya hingga menghangat. Kau kabarkan padaku begitu banyak inspirasi yang tak tersentuh. Kau buka mata mayaku bahwa langit akan tetap membiru meski hujan menghantamnya semalaman.

Cepat dan bergegas atau aku akan menyusul semuanya lari. Tapi aku butuh satu tangah untuk mencengkkeramku ketika tak lagi aku memiliki mimpi. Aku ingin sebebas kopi, tanpa perlu banyak janji. Aku ingin sebebas kopi,  tanpa perlu mendengar mereka yang mulutnya biasa diobral. Aku masih ingin sebebas kopi, menerima, memberi, mendengar, berbagi, bercerita, dan memutar segaris petualangan.
Aku ingin serupa kopi, hitam, legam, pahit, tak menarik, tapi semua mata memandang, semua hati hangat, semua orang jatuh cinta. Kopi memberiku jeda untuk tertawa dan menangis dalam satu waktu. Angkat gelasmu dan nikmati sensasimu....mari ngopiiiiii....