"RUNNING AWAY FROM
YOUR PROBLEM IS A RACE YOU’LL NEVER WIN"
Beberapa
waktu yang lalu, aku sempat bertanya pada salah satu sejawatku, kalau aku
dihadapkan pada dua pilihan untuk “Lari” atau “Hadapi”, kata mana yang harus
aku jalani??? Dan untukku dia pilihkan kata “Hadapi”, lantas quotes yang
menurutnya sok bijak aku kutip sebagai tagline ku kali ini.
“Hadapi”, sesimple ucapannya,
kata ini mudah sekali untuk disebut. Aku rasa setiap orang yang berkesempatan
hidup didunia pasti hampir sering mendapati kata ini sebagai penyemangat.
Kadang akupun memakainya dalam beberapa kesempatan. Aku kecap sedikit sisa asin
dari remah kue yang baru saja aku makan. Remahan kecil ini mengingatkan aku
akan simbol kehidupan, yaaa... kadang aku melihat diriku seperti remahan sisa
roti yang berceceran dilantai, untuk sekedar memungutinyapun segan apalagi
memakannya. Itulah aku saat rota memutarku hingga hampir dibawah. Hampir, aku
masih memilih kata hampir karena aku masih merasa aku bisa memutarnya sampai
atas lagi.
Tidak
ada orang yang tidak pernah merasa jenuh, setuju?
Senyaman apapun hidup seseorang
pasti akan ada masa dimana dia akan merasa jenuh, bosan dan mual dengan segala
rutinitas hidupnya. Bahkan ada yang bisa dibilang, dia akan membenci pagi,
siang, sore dan malamnya.
Aku
dan malam.
Sudah hampir 4 (empat) bulan ini
aku seperti bermusuhan dengan malam. Selalu ada rasa takut saat langit yang
disebut sebagai malam mulai menjumpaiku. Entah bagaimana awalnya, tapi yang aku
tau, malam terasa lebih menakutkan sekarang, mungkin karena dia sepi, dan aku
takut kesunyian. Aku terlalu sentimentil untuk urusan satu ini, tapi memang
inilah yang aku rasakan, aku takut pada malam.
Sesungguhnya
andai kau tau bukan malamnya yang kutakuti, tapi “Diamnya”...
Selalu merasa sendiri, sepi dan
kesunyian yang menusuk ini sungguh membuatku tidak nyaman, aku takut akan itu.
Setiap malam menyapa, nyaliku turut surut. Aku benci sendiri, aku benci merasa
sepi dan malam selalu menghadirkan dua hal tersebut.
Di sudut kotak no. 12 sekarang
aku tinggal. Garis tepi yang sepi, dan malam... menyumbang kesepiannya lagi.
Sedih tak lagi jauh dari hari-hariku, malam selalu menghadiahkannya kepadaku.
Karena malam gelappun datang, kesunyian tercipta sehingga sepi menyusupi hati,
kalau sepi sudah mulai berkuasa apalah daya selain pasrah pada kesedihan.
Aku
tak sekuat tawa yang selalu kamu lihat. Dalam tawa itu tak kau lihatkah simbol
permintaan tolong yang coba aku sampaikan dengan sehalus mungkin, atau aku
terlalu halus hingga dengan sadarmupun, kamu tak mampu melihatnya?.
Aku tak semenarik topeng yang
selalu bertengger pada permukaan seorang “Aku”. Aku cukup pantas disebut
pecundang karena ini. Rasa takutku membuat aku kehilangan maksa dari sebuah
kesunyian, kedamaian yang coba disiratkan. Semua beban pada otak, berhasil
memanipulasi otot takut untuk berkontraksi seribu kali lipat lebih keras dari
biasanya. Dan akupun kehilangan kata damai dalam suatu sunyi, terganti dan aku
benci.
Sampai
kapan aku harus bermusuhan dengan rasa takutku sendiri?
“Hadapi”, satu kata terpilih yang
ditujukan untuk aku. Takut ini akan terus ada kalau saja aku masih disini
dengan keadaan yang sama. Lalu akan timbul pertanyaan menyusul “Kenapa tak kau
coba merubah keadaan, kalau saja itu akan membuatmu lebih baik?”... pertanyaan
bagus untuk ditujukan pada hati kecilku yang paling dalam.
Kenapa? Lantas kamu pikir aku
bisa jawab apa, dan jawaban apa pula yang kau harapkan atas pertanyaan itu?
Terlalu klasik..
Tak ada yang bisa dirubah kalau
ini lebih dari sekedar merubah “aku”. Ada banyak hal lain diluar kendali
sepasang tangan kecil yang terbatas ini. Tak bisa untuk dipaksa atau aku yang
akan tersudut dan semakin tersentak. Hidup itu tak sesederhana meracik kopi...
Dimana dan siapa pembuat kopi
terenak yang pernah kamu rasakan, apabila kamu boleh belajar padanya, berapa
prosentase keberhasilanmu untuk menghasilkan kopi seperti... ah jangan seperti
itu terlalu tinggi, mari kita ganti dengan mendekati rasa original buatan
peracik aslinya? Tak akan mencapat 99%, aku bisa menjamin itu.
Soooo...
lihat lebih dalam, terkaitnya kopi dan suatu keadaan.
Hal boleh sama, usaha mungkin
mendekati, tapi untuk hasil kita tak akan pernah tau. Dengan dunia yang baru
beserta orang-orangnya lengkap dengan adat yang mengakar, aku harus mampu
membaur dan menjadi bagian dari itu. Untuk apa yang aku kerjakan, untuk adat
yang mengakar, aku bisa mempelajarinya dengn baik, hanya saja yang tidak aku
bisa adalah berdamai dengan manusianya. Penerimaan yang baik belum aku lihat
dari mereka... sebaik apapun aku mencoba berlaku dan berbaur dengan mereka,
masih dan selalu saja ada hal buruk yang mereka bicarakan dibelakangku. Mereka
terlalu senseitif untuk menemukan bahkan hal terkecil sekalipun dariku yang
dapat mereka cela. Bagiku kini setiap harinya tidak ada hari tanpa cela, akupun
tak mengerti aku harus menjadi seperti apa agar aku tidak terlalu terlihat
berbeda.
Aku
sama seperti mereka, organ tubuhku lengkap, aku tidak tuli dan aku bisa
berbicara, jalanku tidak pincang dan tanganku tidak panjang sebelah, lalu apa perbedaan
yang selalu mereka permasalahkan?? Pola pikir? Bukannya pola pikir akan
terbentuk dengan sendirinya sesuai dengan lingkungan, kebiasaan dan
masing-masing manusianya toh, lalu kenapa kalau pola pikirku tidak sama dengan
mereka, apa berbeda itu sebuah kiamat?
Aku tumbuh dan besar di Jawa,
tempat dimana aku banyak menemukan sepingan diriku. Aku terbiasa hidup dengan
masyarakat luas yang demokratis, yang tak banyak punya waktu untuk saling
mencari-cari dengan sengaja kesalahan orang lain. Aku bisa memeluk gunung
kapanpun aku mau, aku bisa bermain air dengan pantai dimanapun aku mau,
bermain-main dengan si “Bola” orangane sampai kaki kram dengan lepas,
membiarkan jari-jariku menari merangkai kata dan menggulirkan cerita dari apa
yang aku mau, merangkul tawa bersama para jenius yang tersebut “Comic”, sahabat
itu ibarat bintang, karena terlalu banyaknya sampai dimanapun kaki mencetak
jejak mereka pun tercipta. Dan keadaan inipun terbalik seketika kala kakiku
mulai menapaki tempat ini semakin jauh. Semua dariku direnggutnya perlahan, tak
ada lagi pantai dan gunung untukku berteriak, mereka terganti dengan jajaran
mall yang bising dan ribut. Tak pernah lagi tangan dan kaki ini berlari
beriringan dengan pantulan bola orange yang banyak mengenalkanku pada kesenangan.
Tawa yang selalu aku rindukan, tawa yang mereka ciptakan, hadirku diantara
mereka sebagai anak bungsu yang tertatih belajar, sosok-sosok yang memberiku
keberanian bercerita, kini lama tak ku jumpai. Para pengajar tak sengaja yang
selalu menyuntikan kepercayaan diri untuk menulispun aku lupa. Jangan pernah
berharap seorang sahabat sekalipun, karena untuk mendapat seorang yang baiknya
tulus saja sulit kamu temukan, mereka baik...uhmmm... mungkin terlalu baik
kalau saja hanya tampak dari muka, coba kamu buka lembaran berikutnya atau
langsung pada halaman belakangpun boleh, kamu akan temukan siapa mereka
sebenarnya, muka tulus mereka diiringi pisau tajam yang setiap saat siap
menghujam tubuhmu tanpa ampun, tidakkah itu lebih menakutkan dari pocong atau sebangsanya?
“Senja
mulai menyapa dan gelisahkupun tiba”
Aku ingin pulang, ingin cepat
pulang, sehingga aku tidak perlu lagi membohongi diriku sendiri terlalu lama.
Kawan, dari dua pilihan kata yang
aku ajukan, maaf aku harus memilih “Lari”, kali ini aku tak sependapat
denganmu. Karena bagiku “Hadapi” sama halnya bunuh diri. Aku pengecut, kau akan
meneriakiku begitu, aku tak peduli, karena ada masanya dimana aku akan jujur
pada diriku sendiri. Aku tak suka disini kawan, dan aku “Lari” bukan berarti
takut menghadapi tidak, tapi aku lebih memilih berdamai dengan hati. Untuk apa
aku tetap bertahan sementara hati tak tenang?.
Satu
setengah tahun, bergulat dengan waktu, mencoba merangkul ketidaktenangan tapi
aku tak berdaya. Semakin aku memaksa untuk bertahan semakin banyak duri yang
menusukku, semakin aku kuat menjejak tanah semakin goyah. Tawaku hanya
sandiwara agar setiap orang menganggap aku baik-baik saja. Ceriaku sebatas
topeng, agar hatiku yang rapuh tak tampak. Segala teriak dan hembusan nafas
panjangku untuk memperkuat diri, aku takut aku lupa cara mengambil oksigen.
Semua yang membebaniku bertubi datang sejalan dengan bergantinya warna langit,
apa aku masih punya alasan untuk tidak takut pada malam? Dalam malam yang diam,
aku menghadapi semua itu sendirian. Iya sendiri saja... hanya ada suaraku,
desahan nafasku dan segala ketakutanku. Jadi ijin kan aku pinjam kakimu untuk
membantuku berlari. Jangan lagi kau minta aku untuk “Hadapi”, aku hanya ingin
berlari, sampai aku lelah dan lupa pada semua sesal, aku hanya ingin berlari
sejauh mungkin, sampai jemariku dekat menyentuh ibuku. Kalaupun ada yang salah
dengan keberadaanku disini, ialah AKU...