“ Terima kasih kita masih berjalan
bersama, tembus badai opini dan tsunami hujatan “
-Untuk Sahabatku, dari album 32-
Tiga puluh lima derajat,
parameter suhu yang terbaca oleh mata ku disebuah aplikasi yang tertera jelas
dari layar smartphone Andromax milik bapak-bapak disebelahku. Suhu yang cukup
bisa membuat butir-butir keringat menetes deras. Kepulan asap rokok dari mulut
bapak-bapak pemilik smartphone itu membuat mata dan hidungku makin pengar
selain karena asap kendaraan yang berganti-ganti
hilir mudik dihadapanku. Semakin lama berdiri, halte kecil ini semakin penuh
saja, membuat keringat yang mengalir semakin tidak terkendali. Aku masih sempat
mencuri lirik ke arah bapak-bapak yang tadi duduk disebelahku. Masih dengan
rokok dengan asap yang terus mengepul keudara tangan kanannya terus asik
bermain dengan andromax-nya seolah panasnya cuaca siang ini tak berarti lagi.
Aku iri dibuatnya, andai saja aku juga punya Hp seperti dia pasti aku tak hanya
membunuh waktu menunggu bis ini dengan mengeluh dan berkali-kali mengusap
keringat yang memenuhi dahi. Hp jadul ku tiba-tiba berbunyi seolah merasa
ketika sedetik lalu aku bersedih karena hanya memiliki dia.
Siang ini aku
berdiri disini bukan tanpa alasan, siang ini aku rela bermandikan keringat bersama
mereka yang entah pada mau kemana bukan tanpa tujuan, dan siang ini mendapat
bonus bau ketek dari para mereka hanya karena satu tekat untuk segera berangkat
dan tidak ingin terlambat.
Aku mengambil lolypop dari
kantong ransel yang ku gendong, sesaat sebelum bis yang akan membawaku ke Solo
datang. Seperti dugaanku sebelumnya, bis bisa aku pastikan bakal penuh, dan
benar saja tak ada bangku yang tersisa kecuali jok depan tepat diatas mesin
yang bisa disimpulkan sendiri seberapa panas kalau duduk disana. Bus AC ini
jadi tidak berasa AC karena posisi dudukku tidak memberiku ruang yang leluasa
untuk menikmati perjalanan kurang lebih tiga jam kedepan. Hawa panas yang
tercipta dari bagian bawah pantatku, yaitu mesin bis, dan tepat dari kaca depan
bis ini sendiri, membuat aku tak henti-hentinya meringis.
Pukul 15:07 Wib,
aku mendarat dengan manis dan penuh sahaja di Terminal Tirtonadi Surakarta,
terminal yang selalu dengan setia menyambut kedatanganku setiap kali aku
bertandang ke kota ini. Ini masih sore dan aku masih punya banyak waktu sebelum
ke tempat tujuan utamaku malam nanti.
Dengan tas ransel yang masih dengan setia menemani kesendirianku hari
ini, aku menghabiskan sore dengan menunggu senja di langit Solo, langit dengan awan yang
melengkungkan senyumnya kepadaku. Hingga langkah kaki di ujung senja
mengantarkan aku pada gerbang yang menyambutku dengan hangat.
Teater Arena Taman Budaya
Surakarta, tempat inilah yang menjadi tujuanku hari ini. Kota Solo bukan kota
asing buat aku, karena bagiku Solo masih menjadi rumah keduaku, tapi untuk
masuk ke tempat ini, inilah pengalaman pertamaku. Nuansa jawa yang Solo banget
mulai terasa begitu aku memasuki gerbang Arena TBS ini. Di koridor utama aku
mendapati kursi yang berjejer rapi, awalnya aku pikir disinilah aku akan
menghabiskan malam mingguku kali ini tapi ternyata aku salah, kursi yang
tertata rapi itu untuk para tamu undangan pernikahan yang akan digelar malam
nanti di pendopo utama Arena TBS ini, untung saja aku tak sembarangan masuk
bisa-bisa kenyang aku disitu nanti hahaha. Pandangan aku arahkan pada sebuah
sudut yang terjangkau mata, sebuah mobil terparkir didepannya. Aku berjalan
mendekat dan benar saja mobil itu adalah mobil Smartfren yang menjadi sponsor
utama dari acara yang akan aku lihat malam nanti. Berarti di ruangan inilah
nanti acara itu akan digelar. Aku melihat beberapa mas-mas yang sepertinya
mereka panitia hilir mudik didepanku yang masih mematung tak jauh dari mobil
Smartfren tadi terparkir. Masih sepi, belum banyak yang datang padahal ini
sudah pukul 17:39, sempat takut acara akan molor tapi aku ingat betul bahwa
pengisi utama acara ini tidak suka molor alias ontime, aku kembali bersemangat.
Langit berubah gelap dan hujan mulai turun tepat saat aku mulai berdiri
mengantri untuk masuk ke tempat acara. Tepat disebelah kananku terlihat jelas
poster besar bertuliskan judul acara yang akan menemaniku malam ini. Ya
walaupun beberapa kali jatuh tertiup angin dan itu berhasil membuat para
panitia kerepotan.
Hujan deras tepat saat aku
memasuki sebuah ruangan yang tidak terlalu besar tapi terasa sangat hangat dan
nyaman. Dengan deretan bangku kayu yang berundak keatas dan membentuk huruf U.
aku memilih duduk dideretan paling depan, agar mata lebih leluasa untuk melihat
ke panggung yang tegak berdiri didepanku. Panggung itu tidak terlalu besar,
sempat kaget sebenarnya, hampir tidak percaya seorang yang sangat aku idolakan
hanya akan beraktivitas dipanggung sekecil itu. Ini pemandangan dan tata ruang
yang jauh berbeda dari tempat yang biasa aku datangi dengan acara yang serupa.
Ada dua pintu yang berada dipojok atas kanan dan kiriku, namun hanya satu pintu
saja yang difungsikan. Sementara disetiap pojok yang lain bertebaran standing
barnernya smartfren. Pertunjukan baru akan dimulai setengah jam lagi aku
menghabiskan waktuku dengan menikmati suasana jawa yang kental dari ornament
gedung ini dan membaca beberapa brosur smartfren yang diberikan oleh petugas
saat aku masuk tadi.
Tepat pukul 19:00 lampu
tiba-tiba meredup, hanya ada satu lampu sorot mengarah tepat ke tengah panggung
sehingga siapa saja bisa dengan jelas membaca tulisan yang ada di spanduk besar
yang dipasang di tengah panggung. “ MESAKKE BANGSAKU stand up comedy tour
PANDJI PRAGIWAKSONO”. Seorang bertubuh padat masuk dan berdiri ditengah
panggung, dia MC untuk malam ini. MC yang tak banyak bicara dan tak banyak basa
basi atau beramah tamah dengan penonton seperti MC-MC lain yang biasanya
memberi kesan menyenangkan pada acara seperti ini, MC kali ini terlalu sedikit
bicara dan to the poin, beda sekali dengan beberapa MC yang aku lihat pada
acara yang serupa ditempat lain.
Well acarapun
dimulai, opener pertama dari comic local Solo, Indra Narendra. Comic gembul
asal Boyolali, materi yang dibawakan lumayan, mungkin bila sedikit lagi diasah
pasti akan lebih baik, tapi untuk hitungan comic local cukup menghiburlah. Lalu
penampilan kedua dilanjutkan oleh Liant Lin, opener yang khusus dibawa oleh
pandji untuk menjadi opener utama dalam tour stand up nya di Solo kali ini.
Cowok yang tidak terlalu tinggi ini, keturuanan cina. Umurnya 21tahun dan dia
calon dokter, siapa sangka hahaha jaman sekarang dokter gak Cuma jago nyanyi
tapi ada juga yang jago stand up, ya macam dia itu. Pemanasan yang sangat
menarik sebelum pada akhirnya kami harus siap untuk menahan kram perut karena
tertawa nanti.
Pandji Pragiwaksono, sosok biasa
yang menurutku luar biasa. Cara pandang dan cara berfikirnya cerdas. Kalau om
Indro kasih kompor gas aku bakal kasih dia kompor listrik, gak terlihat apinya
tapi begitu ngerasaiin panasnya gak main-main, kerennya pake banget. Dengan
memakai celana jeans biru, kaos bergambar logo “MesakkeBangsaku” dipadu dengan
ini namanya jas apa cardigan ya entahlah apa namanya pokoknya warnanya putih. Ada
sebuah meja dan kursi diatas panggung, penampilan yang tak biasanya. Ini bukan
kali pertama lihat pandji stand up secara langsung. Tapi ini untuk pertama
kalinya melihat pandji sesantai ini. Panggung yang tadi aku pikir terlalu kecil
untuknnya, ternyata bisa dia sulap menjadi senyaman itu hanya dengan dia tak
banyak bergerak alias duduk. Kami seperti tidak sedang melihat suatu
pertunjukan melainkan sedang ngobrol santai, mendiskusikan banyak hal dengan
selingan tawa yang menghangatkan keakraban kami di sabtu malam ini.
Pandji membuka pertunjukannya
dengan begitu mempesona, dia terlihat sangat nyaman dengan panggung kecilnya,
kursi dan meja yang diatasnya ada sebotol air mineral dan secangkir kopi yang
ditengah acara dia sempat minta isi ulang. Keresahan-keresahan yang dia coba
sampaikan kepada kami membuat kami tak henti-hentinya ber “ooo” ria dan tertawa
terbahak sampai mulut dan perut kompak merasakan kram. Seperti tema yang dia
bawa, malam ini dia banyak membahas masalah persatuan, masalah ekonomi,
politik, pendidikan dan sebagai penyempurna dia tak pernah absen untuk berbagi
cerita tentang keluarganya, tentang Dipo…si imut yang hmmm pengen ngebungkus
dan aku bawa pulang aja deh rasanya.
Pembicaran
bergulir dari masalah kaum minoritas yang ada di Indonesia. Dari pandji aku
jadi tau prosentase mereka. Mulai dari golongan minoritas yang banyak dipandang
sebelah mata sampai kaum minoritas yang justru menguasai hampir sempurna
perekonomian di Indonesia. Pembicaraan menarik yang dikemas rapi dalam sebuah
materi stand up comedy. Dengan halus tema berganti pada masalah pendidikan
dengan mengambil perbandingan dengan salah satu Negara yang punya system
pendidikan paling bagus. Aku dibuat mengerti dengan banyak hal dan aku dibuat
gelisah dengan fakta-fakta tentang Indonesia yang selama ini kurang aku
perhatikan. Benar memang kalau Indonesia itu perlu dikasihani, aku jadi
mengerti kenapa Pandji mengusung tema ini. Nasib bangsa ini tidak lain dan
tidak bukan ada ditangan generasi mudanya itu kenapa lewat stand up Pandji
ingin menularkan kesadaran nasionalisme itu kepada generasi penerus bangsa,
kalau bukan kita yang peduli pada nasib bangsa, mau siapa lagi?. Malam ini
sungguh luar biasa, dia banyak menularkan ilmunya kepada kami terlebih aku, ini
seperti kuliah dengan sensasi stand up comedy.
Ada Pandji pasti bakal ada yang
kena rifting, itu kenapa untuk orang yang berpengalaman pasti memilih untuk tidak
duduk paling depan atau berpenampilan mencolok sehingga menarik perhatiannya.
Malam ini yang jadi korban rifftingnya Pandji ada dua orang, mas-mas berkaos
ijo yang selama pertunjukan Pandji suka sekali memanggilnya “Tujuh” dan seorang
berbadan padat berisi yang bila dibandingkan fico comic SUCI3 dia lebih bengkak
lagi. Mereka berdua yang menjadi camilan kami disela hidangan inti dari
materi-materi Pandji. Entah sudah berapa kali aku tertawa sampai terjongkok
karena tingkah polah pandji yang begitu absurd.
Setiap menit
yang bergulir, kehangatannya semakin mengakrabkan kami. Perasaan nyaman ini
membuat aku tidak ingin acara ini cepat berakhir, tapi waktu tidak sependapat,
dengan senyum yang tulus pandji pun mengakhiri stand up comedynya, reflex aku
berdiri untuk bertepuk tangan sekaligus itu caraku untuk mengucapkan terima
kasih kepadanya atas pertunjukan hebat dan pembelajaran yang keren darinya.
Senyumkupun seolah tak mau lepas sampai pada akhirnya sesi foto bareng pandji
dimulai. Ketika semua penonton mengantri dengan senangnya untuk berfoto bersama
pandji, aku masih dengan tenang duduk dibangkuku sambil melihati tingkah
mereka. Banyak senyum disana semua tampak begitu puas malam ini. Tak ada
keluhan atau cercaan yang aku dengar walaupun kuping sudah kupasang baik-baik,
semua yang aku dengar hanya pujian, pujian dan pujian untuk pandji, gila ini
keren banget, pandji memberi kami kepuasan ditengah dahaga kebodohan yang tidak
kami sadari. Mataku semakin terbuka kini. Pengalaman luar biasa yang tak akan
aku lupakan.
Aku berdiri otak memintaku untuk
segera keluar dari tempat ini, tapi langkah kaki sedang tidak kompak, yang ada
dia malah membawaku semakin dekat dengan panggung. Memasukkan aku dalam antrian
panjang, degub jantungku kian tak menentu ketika kusadari antrian semakin
menipis dan aku semakin dekat dengan giliran. Bukan karena aku tak ingin
berfoto dengan pandji, siapa coba yang tidak ingin foto bersama dengan orang
sekeren dia tapi aku malu karena diantara orang-orang yang hadir disini hanya
aku yang berbekal hp butut, semoga saja mas-mas yang membantuku mengambil
gambar nanti tidak tertawa dibuatnya. Hp jadulku kini sudah berpindah tangan,
seorang mas-mas berkaos hitam membawanya dan bersiap mengambil foto. Pandji
melihatku yang ragu-ragu, dia ulurkan tangannya panjang untuk meraih tanganku,
sejenak dia amati aku yang kini berdiri tak jauh darinya. Aku tau apa yang
menyita perhatiannya, pasti bukan
karena mukaku yang aku jamin jelek banget dan tak berbentuk malam ini tapi
karena kaos yang aku pakai.
“
wuihhhh..kaosnyaaaa…. kerennnn!!!” kalimat itu yang keluar dari mulutnya
setelah menyambut tanganku, dengan bangga akupun menjawab.
“ kaos album 32
nih bang!!!”
Seketika itu
juga rasa ragu itu hilang menjelma
dengan sempurna menjadi percaya diri, ku jabat lagi tangannya, terakhir sebelum
langkah ini menjauh pergi, perlahan menjauh dari panggung kecil ini, keluar
dari gedung ini dan berjalan semakin jauh dari Arena TBS ini. Terima kasih
untuk malam yang luar biasa, kini aku bisa pulang dengan segala kelegaan yang
membayar lunas semua kelelahan hari ini dan aku bersiap untuk hari nanti. Terima
kasih Pandji Pragiwaksono untuk belajar barengnya, perjalan pulang 3jam ini aku
pastikan tidak akan terasa, itu semua karena malam yang keren ini.
#masih ada yang tertinggal sebenarnya, waktu sesi tanya jawab sebenarnya aku pengen bertanya tapi sayang aku tidak mendapat kesempatan
" bang, aku tau seberapa peduli abang sama politik, lantas kenapa abang tidak masuk dunia politik? "