Minggu, 08 November 2015

"LARI" atau "HADAPI"



"RUNNING AWAY FROM YOUR PROBLEM IS A RACE YOU’LL NEVER WIN"

                Beberapa waktu yang lalu, aku sempat bertanya pada salah satu sejawatku, kalau aku dihadapkan pada dua pilihan untuk “Lari” atau “Hadapi”, kata mana yang harus aku jalani??? Dan untukku dia pilihkan kata “Hadapi”, lantas quotes yang menurutnya sok bijak aku kutip sebagai tagline ku kali ini.
“Hadapi”, sesimple ucapannya, kata ini mudah sekali untuk disebut. Aku rasa setiap orang yang berkesempatan hidup didunia pasti hampir sering mendapati kata ini sebagai penyemangat. Kadang akupun memakainya dalam beberapa kesempatan. Aku kecap sedikit sisa asin dari remah kue yang baru saja aku makan. Remahan kecil ini mengingatkan aku akan simbol kehidupan, yaaa... kadang aku melihat diriku seperti remahan sisa roti yang berceceran dilantai, untuk sekedar memungutinyapun segan apalagi memakannya. Itulah aku saat rota memutarku hingga hampir dibawah. Hampir, aku masih memilih kata hampir karena aku masih merasa aku bisa memutarnya sampai atas lagi.
                Tidak ada orang yang tidak pernah merasa jenuh, setuju?
Senyaman apapun hidup seseorang pasti akan ada masa dimana dia akan merasa jenuh, bosan dan mual dengan segala rutinitas hidupnya. Bahkan ada yang bisa dibilang, dia akan membenci pagi, siang, sore dan malamnya.
                Aku dan malam.
Sudah hampir 4 (empat) bulan ini aku seperti bermusuhan dengan malam. Selalu ada rasa takut saat langit yang disebut sebagai malam mulai menjumpaiku. Entah bagaimana awalnya, tapi yang aku tau, malam terasa lebih menakutkan sekarang, mungkin karena dia sepi, dan aku takut kesunyian. Aku terlalu sentimentil untuk urusan satu ini, tapi memang inilah yang aku rasakan, aku takut pada malam.
                Sesungguhnya andai kau tau bukan malamnya yang kutakuti, tapi “Diamnya”...
Selalu merasa sendiri, sepi dan kesunyian yang menusuk ini sungguh membuatku tidak nyaman, aku takut akan itu. Setiap malam menyapa, nyaliku turut surut. Aku benci sendiri, aku benci merasa sepi dan malam selalu menghadirkan dua hal tersebut.
Di sudut kotak no. 12 sekarang aku tinggal. Garis tepi yang sepi, dan malam... menyumbang kesepiannya lagi. Sedih tak lagi jauh dari hari-hariku, malam selalu menghadiahkannya kepadaku. Karena malam gelappun datang, kesunyian tercipta sehingga sepi menyusupi hati, kalau sepi sudah mulai berkuasa apalah daya selain pasrah pada kesedihan.
                Aku tak sekuat tawa yang selalu kamu lihat. Dalam tawa itu tak kau lihatkah simbol permintaan tolong yang coba aku sampaikan dengan sehalus mungkin, atau aku terlalu halus hingga dengan sadarmupun, kamu tak mampu melihatnya?.
Aku tak semenarik topeng yang selalu bertengger pada permukaan seorang “Aku”. Aku cukup pantas disebut pecundang karena ini. Rasa takutku membuat aku kehilangan maksa dari sebuah kesunyian, kedamaian yang coba disiratkan. Semua beban pada otak, berhasil memanipulasi otot takut untuk berkontraksi seribu kali lipat lebih keras dari biasanya. Dan akupun kehilangan kata damai dalam suatu sunyi, terganti dan aku benci.
                Sampai kapan aku harus bermusuhan dengan rasa takutku sendiri?
“Hadapi”, satu kata terpilih yang ditujukan untuk aku. Takut ini akan terus ada kalau saja aku masih disini dengan keadaan yang sama. Lalu akan timbul pertanyaan menyusul “Kenapa tak kau coba merubah keadaan, kalau saja itu akan membuatmu lebih baik?”... pertanyaan bagus untuk ditujukan pada hati kecilku yang paling dalam.
Kenapa? Lantas kamu pikir aku bisa jawab apa, dan jawaban apa pula yang kau harapkan atas pertanyaan itu? Terlalu klasik..
Tak ada yang bisa dirubah kalau ini lebih dari sekedar merubah “aku”. Ada banyak hal lain diluar kendali sepasang tangan kecil yang terbatas ini. Tak bisa untuk dipaksa atau aku yang akan tersudut dan semakin tersentak. Hidup itu tak sesederhana meracik kopi...
Dimana dan siapa pembuat kopi terenak yang pernah kamu rasakan, apabila kamu boleh belajar padanya, berapa prosentase keberhasilanmu untuk menghasilkan kopi seperti... ah jangan seperti itu terlalu tinggi, mari kita ganti dengan mendekati rasa original buatan peracik aslinya? Tak akan mencapat 99%, aku bisa menjamin itu.
                Soooo... lihat lebih dalam, terkaitnya kopi dan suatu keadaan.
Hal boleh sama, usaha mungkin mendekati, tapi untuk hasil kita tak akan pernah tau. Dengan dunia yang baru beserta orang-orangnya lengkap dengan adat yang mengakar, aku harus mampu membaur dan menjadi bagian dari itu. Untuk apa yang aku kerjakan, untuk adat yang mengakar, aku bisa mempelajarinya dengn baik, hanya saja yang tidak aku bisa adalah berdamai dengan manusianya. Penerimaan yang baik belum aku lihat dari mereka... sebaik apapun aku mencoba berlaku dan berbaur dengan mereka, masih dan selalu saja ada hal buruk yang mereka bicarakan dibelakangku. Mereka terlalu senseitif untuk menemukan bahkan hal terkecil sekalipun dariku yang dapat mereka cela. Bagiku kini setiap harinya tidak ada hari tanpa cela, akupun tak mengerti aku harus menjadi seperti apa agar aku tidak terlalu terlihat berbeda.
                Aku sama seperti mereka, organ tubuhku lengkap, aku tidak tuli dan aku bisa berbicara, jalanku tidak pincang dan tanganku tidak panjang sebelah, lalu apa perbedaan yang selalu mereka permasalahkan?? Pola pikir? Bukannya pola pikir akan terbentuk dengan sendirinya sesuai dengan lingkungan, kebiasaan dan masing-masing manusianya toh, lalu kenapa kalau pola pikirku tidak sama dengan mereka, apa berbeda itu sebuah kiamat?
Aku tumbuh dan besar di Jawa, tempat dimana aku banyak menemukan sepingan diriku. Aku terbiasa hidup dengan masyarakat luas yang demokratis, yang tak banyak punya waktu untuk saling mencari-cari dengan sengaja kesalahan orang lain. Aku bisa memeluk gunung kapanpun aku mau, aku bisa bermain air dengan pantai dimanapun aku mau, bermain-main dengan si “Bola” orangane sampai kaki kram dengan lepas, membiarkan jari-jariku menari merangkai kata dan menggulirkan cerita dari apa yang aku mau, merangkul tawa bersama para jenius yang tersebut “Comic”, sahabat itu ibarat bintang, karena terlalu banyaknya sampai dimanapun kaki mencetak jejak mereka pun tercipta. Dan keadaan inipun terbalik seketika kala kakiku mulai menapaki tempat ini semakin jauh. Semua dariku direnggutnya perlahan, tak ada lagi pantai dan gunung untukku berteriak, mereka terganti dengan jajaran mall yang bising dan ribut. Tak pernah lagi tangan dan kaki ini berlari beriringan dengan pantulan bola orange yang banyak mengenalkanku pada kesenangan. Tawa yang selalu aku rindukan, tawa yang mereka ciptakan, hadirku diantara mereka sebagai anak bungsu yang tertatih belajar, sosok-sosok yang memberiku keberanian bercerita, kini lama tak ku jumpai. Para pengajar tak sengaja yang selalu menyuntikan kepercayaan diri untuk menulispun aku lupa. Jangan pernah berharap seorang sahabat sekalipun, karena untuk mendapat seorang yang baiknya tulus saja sulit kamu temukan, mereka baik...uhmmm... mungkin terlalu baik kalau saja hanya tampak dari muka, coba kamu buka lembaran berikutnya atau langsung pada halaman belakangpun boleh, kamu akan temukan siapa mereka sebenarnya, muka tulus mereka diiringi pisau tajam yang setiap saat siap menghujam tubuhmu tanpa ampun, tidakkah itu lebih menakutkan dari pocong atau sebangsanya?

                “Senja mulai menyapa dan gelisahkupun tiba”
Aku ingin pulang, ingin cepat pulang, sehingga aku tidak perlu lagi membohongi diriku sendiri terlalu lama.
Kawan, dari dua pilihan kata yang aku ajukan, maaf aku harus memilih “Lari”, kali ini aku tak sependapat denganmu. Karena bagiku “Hadapi” sama halnya bunuh diri. Aku pengecut, kau akan meneriakiku begitu, aku tak peduli, karena ada masanya dimana aku akan jujur pada diriku sendiri. Aku tak suka disini kawan, dan aku “Lari” bukan berarti takut menghadapi tidak, tapi aku lebih memilih berdamai dengan hati. Untuk apa aku tetap bertahan sementara hati tak tenang?.
                Satu setengah tahun, bergulat dengan waktu, mencoba merangkul ketidaktenangan tapi aku tak berdaya. Semakin aku memaksa untuk bertahan semakin banyak duri yang menusukku, semakin aku kuat menjejak tanah semakin goyah. Tawaku hanya sandiwara agar setiap orang menganggap aku baik-baik saja. Ceriaku sebatas topeng, agar hatiku yang rapuh tak tampak. Segala teriak dan hembusan nafas panjangku untuk memperkuat diri, aku takut aku lupa cara mengambil oksigen. Semua yang membebaniku bertubi datang sejalan dengan bergantinya warna langit, apa aku masih punya alasan untuk tidak takut pada malam? Dalam malam yang diam, aku menghadapi semua itu sendirian. Iya sendiri saja... hanya ada suaraku, desahan nafasku dan segala ketakutanku. Jadi ijin kan aku pinjam kakimu untuk membantuku berlari. Jangan lagi kau minta aku untuk “Hadapi”, aku hanya ingin berlari, sampai aku lelah dan lupa pada semua sesal, aku hanya ingin berlari sejauh mungkin, sampai jemariku dekat menyentuh ibuku. Kalaupun ada yang salah dengan keberadaanku disini, ialah AKU...

Jumat, 06 November 2015

Aku... Yang Terlewatkan

Sebuah Kata " KEMBALI"
Sesaat aku lupa... sampai ada satu kalimat menyadarkan akan adanya suatu keberadaan. Mencoba membuka kembali apa yang pernah aku mulai. Lupa rasanya memulai (lagi), wajar mungkin karena aku terlalu lama tenggelam dalam "Ketidak Terimaan". Hingga seorang sahabat lama kembali meniupkan nyawa pada jari- jari dan pikiranku. Memberiku sebuah tanda tanya besar kapan aku siap memulainya kembali.
Dan kawan inilah aku... Tulisan ini sebagai awal dan ucapan terima kasihku untukmu atas, tiupan semangat dan suntikan "Paksaan" untuk kembali ke duniaku yang dulu. 

Sudahkah kau dengar tentang semangatku yang lain hari ini? aku akan mewartakannya untukmu... Dengarkan..

Sepagi tadi aku menerima sebuah pesan singkat dari seorang sahabat kental yang lama tak ku jumpai. Dulu kami adalah seorang petualang yang punya dunia kami sendiri. Kami punya waktu kami sendiri dan kami punya tempat kami sendiri. Banyak hal yang dulu sering kami lakukan bersama, bahkan bisa dikata kami punya kesamaan "Nasib Sial" terlebih masalah hati... Hiss... Jangan kau tertawa karena kau tau banyak tentangku untuk satu hal ini. 

Ada kabar bagus untukku melepas rindu pada duniaku yang dulu dan aku sangat tertarik untuk bergabung menjadi salah satu pelakunya, setidaknyya ada sedikit hal yang sarat pengalaman dan membuatku sedikit berguna untuk orang lain. Sumba dan Berau, sempat kita mendiskusikan dua hal tujuanku nanti, dan kau memilihkanku Sumba, right???
Lama rasanya otakku ini tak terpakai untuk menulis semacam cerita atau hanya tulisan yang lebih dari satu paragraf lagi, paling seperti yang kamu tau hanya satu dua kalimat yang tershared tidak terlalu penting diMedsos. Aku ingin mengasahnya kembali, mencoba peruntungan dan kelihaianku mengolah kata demi kata lagi.

Aku tak terlalu pandai mengarang dan menyusun kata perkata hingga menjadi sebuah kalimat bahkan sebuah paragraf  yang cantik, tapi aku cukup bangga karena beberapa tulisanku berhasil memenangkan perhatian beberapa kalangan, bagiku itu adalah sebuah prestasi yang lebih membanggakan dibanding menjadi seorang juara kelas.
Tapi kawan, aku bahkan lupa bagaimana cara mengawali sebuah cerita sekarang...

Tinggal ditempatku yang sekarang membuat aku lupa akan suatu kegemaraan. Damn!!! aku terlalu sibuk untuk mengeluh dan terus mengeluh akan keberadaanku disini, aku membuang cukup banyak waktu luangku untuk menghajar diriku sendiri dengan rasa tidak terima. 
Sebentar, biar ku seduh secangkir kopi hitam kental tanpa gula dulu agar otakku kembali bekerja dengan baik, eh kawan... sudahkah kau minum kopimu hari ini??? hahaha rasanya kita hanya bisa saling join kopi lewat kata, maafkan kesombonganku selalu khilaf dan ingkar janji untuk bertemu, meminum kopi di senja dengan racikan cerita yang bergulir tenang dengan sendirinya.

Kota ini menyibukkan aku dengan segala kemunafikannya, jujur aku masih tidak terima berada disini, aku selalu merasa banyak hal terenggut setelah aku pindah kesini. Sikapku ini mungkin sama sekali tidak dewasa tapi itu harus aku akui, aku menjadi orang asing bagi diriku sendiri. Aku lupa kegemaranku, aku lupa kebiasaan yang selalu membuat aku merasa ada, aku lupa cara tertawa lepas, dan akupun lupa untuk menjadi tenang, karena hariku penuh dengan rasa khawatir. Kota ini aman kok, hanya saja kota ini belum menerimaku dengan baik, atau mungkin justru aku yang belum menerima keberadaanku, ah ini kalimat tanya yang terus membebaniku.

Itulah kenapa undangan yang aku terima pagi tadi seperti oase yang menyapa kesekaratanku. Aku rindu duniaku, rindu kebebasan itu dan semua hal yang dulu selalu punya ruang besar untuk aku nikmati. Kembali merasakan jari-jariku menari membentuk tulisan-tulisan, menceritakan semua yang terasa, terlihat dan terkenang. Kembali bersetubuh dengan alam, berbaur dengan isinya, mengenal hal baru, berbuat hal-hal besar (menurutku, karena ukuran pada masing-masing orang tentunya berbeda). Setidaknya kembali pada seperempat bagian dari aku yang beberapa waktu belakangan ini tertutup awan masalah yang silih berganti, ah... aku malu... lagi-lagi kau tau sedikit banyak tentang ini.

Pernahkah kau lihat awan lelah menemani langit??? jika kamu tak pernah melihatnya maka kau kan dapati aku sekuat itu.

Kuat... Kamu bisa jelaskan ke aku apa definisi dari kata "Kuat"?
Aku mungkin saja terlalu munafik saat berhadapan dengan kalimat "Aku kuat kok menghadapi semua yang terjadi belakangan ini." 
Jangan pernah percaya kawan karena untuk kalimat yang satu itu aku sangat jelas berbohong. Aku tak sekuat yang selama ini kamu lihat. Kalau kamu mau tau, bahkan aku terlalu cengeng untuk bisa disebut sebagai seorang yang sudah dewasa. Tanpa menjadi aku, aku lebih lemah dari yang kalian semua tau, dan tragisnya selama aku berada disini aku menjadi orang terlemah itu.
Aku tak pernah ingin orang lain mengalami apa yang terjadi padaku, itu kenapa aku ingin selalu menularkan hal-hal positif yang aku punya. Melihat banyak hal baru dan bisa membuat banyak orang merasa hebat dan bisa tertawa bangga adalah impian yang selalu ingin aku wujudkan. Menjadi bagian dari keberhasilan, bahkan untuk hal terkecil sekalipun. 
Ijinkan aku untuk selalu bisa berguna untuk siapapun, itu saja yang ingin aku minta.

Kesempatan ini aku tak mau menyia-nyiakannya. Bagaimanapun aku akan berusaha untuk bisa bergabung dan menjadi salah satu garis yang tercetak tak sengaja sebagai salah satu inspirasi bagi mereka yang mungkin saja berbeda dengan kita. Menularkan pada mereka, sedikit pengalaman hidupku yang semoga saja berguna untuk mereka. Mengajarkan sedikit hal yang aku tau dan melihat tawa mereka ketika mereka berhasil mempelajarinya dengan baik. Tak terlalu tinggikan anganku itu???
Kawan, apa kau mulai bosan dengan celotehku???
Jangan dulu, tahan sebentar lagi... masih ada sedikit hal yang ingin ku bagi.

Aku tak akan membahas masalah hati, kau tenang saja karena akupun malas untuk membahasnya. ini hanya tentang sebuah kemungkinan. Kalau aku menanyakan kepadamu lari atau hadapi, mana satu hal yang kamu berikan kepadaku???
dan dari kedua pilihan itu aku membutuhkan sebuah kesempatan, biarpun itu hanya sekali, aku hanya tidak ingin kembali menjadi seorang yang lebih hina dari munafik jika berlama-lama menunggu.

Jadi, aku harus "Lari" atau "Hadapi"?...