Kamis, 22 Mei 2014

INGGRIS ITU RINDU, JAUH DI MATA DEKET DI HATI.





Langit sore ini mengantarkan aku pada senja, leburan warna kuning, jingga, merah dan orange membuatnya begitu mempesona. Aku jadi betah berlama-lama duduk di sini, jarang aku bisa menikmati sore sesantai ini, biasanya jam segini, masih ada seabrek pekerjaan menunggu untuk diselesaikan.
Ku seruput pelan segelas besar kopi hitam pahit di sebuah meja kecil dihadapanku, ada aneka snack ringan “Mister Potato” dan laptop juga di sana. Sebuah atlas dunia di pangkuanku, halamannya tepat terbuka di inggris. Beberapa saat yang lalu, baru saja aku menjelma bak guru les privat yang Maha (sok) tahu, ngajarin ponakan yang mau UN mengenal negara Inggris.... negara yang selalu masuk dalam daftar calon tempat ku berjelajah.

INGGRIS.
                Hawa dingin menyambut kedatanganku, 14 oC , angin arah timur laut, dengan kecepatan 6km/h, kelembapan 96%, informasi lengkap yang aku dapat dari smartphoneku tentang cuaca London saat itu. Ini untuk kali pertamanya aku berada di tempat asing yang jauh dari rumah, perjalanan yang cukup jauh untuk orang awam sepertiku. Saat ini aku sedang berada di ibu kota Inggris yang merupakan wilayah metropolitan terbesar di Britania Raya. Aku belum membuat daftar tempat yang ingin aku kunjungi di sini, aku benar-benar buta di tempat seramai ini. Dengan hanya berbekal sedikit informasi yang aku dapat dari google aku bertekad melangkahkan kaki ini dan membawanya berjalan sejauh mungkin.

                Ini hari pertamaku, keluar dari stasiun London underground, aku berjalan menuju London eye yang sering disebut juga dengan The eye. Rancangan yang dibuat oleh David Marks dan Julia Barfield ini mulai dibuka untuk umum sejak maret 2000. Dengan 32 buah kapsul pengamatan tertutup, London eye berputar dengan kecepatan 0,26 meter/detik. Dan untuk satu kali keliling membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Dengan kecepatan seperti itu, London eye tidak perlu berhenti saat penumpang baru akan masuk, kecuali untuk penumpang-penumpang khusus. Bangunan yang berdiri kokoh di atas sungai Themes ini memberikan pemandangan yang luar biasa. Dari ketinggian 135 meter, mata kita disuguhkan pada panorama gedung-gedung bertingkat dan hamparan panjang sungai Themes dengan puluhan kapal hilir mudik pada arusnya. Coba kalau malam hari pasti pemandangan yang tertangkap mata akan jauh lebih dramatis lagi. Lampu-lampu kota, kelap-kelip lampu kapal di sepanjang aliran sungai Themes, pasti akan begitu romantisnya, suasanya impian para pasangan untuk menikmati waktu bersama apalagi, backgroundnya pantulan cahaya dari air sungai Themes, indahnya.

                Menelusuri aliran sungai Themes, langkah mengantarkan aku pada sebuah bangunan yang menjadi salah satu icon kota London, apalagi kalau bukan Tower Bridge. Jembatan yang membentang di atas sungai Themes ini menggabungkan dua desain jembatan, yaitu angkat dan gantung. Jembatan ini terdiri dari dua bangunan menara yang dihubungkan di tingkat atas oleh dua koridor untuk pejalan kaki.  Dari koridor setinggi 42 meter di atas sungai Themes, aku dapat menikmati keindahan kota London dari atas. Di atas sini aku bisa melihat Katedral St. Paul, pusat bisnis dan belanja Canary Wharf dan tempat pertama yang aku kunjungi tadi London Eye. Pemandangan yang luar bisa untuk menutup malam pertamaku di Inggris. Esok hari aku akan melanjutkan perjalanan ke bagian lain dari Inggris, dari orang-orang lokal yang aku temui, aku mendapatkan banyak informasi tentang tempat-tempat menarik di Inggris, sekarang jadi tahu harus kemana kaki ini besok akan aku langkahkan. Uhmmm.... tak sabar rasanya melihat matahari terbit pertamaku di Inggris besok.

                Selamat pagi dari Inggris..... aku masih sesekali menguap pada langkah pertamaku menuju jendela kamar hotel. Ku sibak tirainya satu-satu, kota London di pagi hari sudah menyambutku dengan senyum. Lalu lintas sudah padat, tapi tak terlihat macet sedikitpun, begitu rapi dan tertata. Masih banyak tempat-tempat menarik di kota ini untuk dikunjungi, masih ada Istana Buckingham, Taman Hyde, Big Ben dan masih banyak lagi, tapi hari ini aku sudah memutuskan untuk singgah ke kota lain. Dan kota yang aku pilih untuk aku singgahi kali ini adalah Birmingham. Birmingham adalah kota terbesar kedua di Britania Raya. Di kota itu aku ingin mengunjungi Nation Sea Life Centre. Terowongan bawah air yang sepenuhnya transparan, yang menjadi rumah raksasa bagi para penyu hijau, hiu karang dan ikan-ikan karang tropis. Berjalan pelan diantara binatang-binatang laut, menikmati keindahan terumbu karangnya, ini hampir sama seperti Sea World yang Indonesia punya, hanya saja desain, tata ruang, suasanya dan banyak hal lain yang membuat taman air ini lebih istimewa. Sejak Paskah 2009, di sini telah dibuka atraksi baru yaitu “Sensorama 4-D Cinema”. Kenapa disebut 4-D? Karena selain melihat film 3-D bertemakan laut, penonton dapat mengalami sensasi seperti angin, garam semprot, dan bau rumput laut, atau sensasi lainnya sesuai dengan jalan cerita pada film tersebut. Dan studio film inilah tempat yang paling aku suka dari taman wisata ini.

                Dan ini hari ketigaku di Inggris, setelah dari Nation Sea life Center Birmingham kemarin aku sempat mampir ke National Indoor Arena. Tempat olahraga indoor terbesar dan merupakan tempat hiburan di Eropa. Sedangkan tujuan langkahku hari ini adalah Manchester, nama yang tak asing lagi untuk para penggila bola. Kota yang terletak di kawasan perkotaan Manchester Raya, yang merupakan kawasan perkotaan terbesar ketiga di Britania Raya. Aku sudah berdiri di stasiun kereta Manchester Victoria, aku ingin jalan-jalan bersama Manchester Metrolink hari ini. Suasana stasiun yang sangat berbeda dengan stasiun yang biasa aku temui di Indonesia, begitu tertata, bersih, desainnya bagus, ada haltenya juga diperjalanan. Pun keretanya tak kalah wah, kalau saja Indonesia bisa seperti ini, betapa betahnya aku menggunakan transportasi kereta setiap harinya. Di Manchester ini aku ingin mengunjungi The Opera House dan Museum City art Gallery yang banyak mengupas sejarah romawi. Dan malam harinya aku ingin mengunjungi Canal Street, salah satu pusat hiburan malam di Manchester. Canal Street merupakan bagian dari “Desa Gay”, tempat hiburan di sini banyak memiliki pelanggan-pelanggan gay, bahkan sekarang sudah banyak komunitas gay yang terbentuk di desa ini. Setiap tahun pada bulan Agustus sejak tahun 1991, Canal Street juga menyelenggarakan festival gay populer, Manchester Pride.

                Aku mengenal seorang Geordie di The Opera House Manchester, sebutan akrab bagi penduduk asli Newcastle, namanya Aurora. Darinya aku banyak mendapatkan informasi tempat-tempat istimewa yang wajib dikunjungi apabila bertandang ke Newcastle. Sesaat sebelum pesawat mendarat di bandara Internasional Newcastle, akan ada patung Angel of the North yang berdiri tegak untuk menyambut kedatangan kita. Patung hasil desain Antony Gormley itu adalah salah satu icon kota Newcastle. Dari pusat kota Newcastle, melalui jalan darat menggunakan bus Arriva perjalanan dilanjutkan menuju Alnwick, hanya butuh waktu satu setengah jam untuk sampai sana. Di Alnwick ada salah satu kastil terbesar di dataran kerajaan Inggris, yaitu Kastil Alnwick. Bagi penggemar film Harry Potter pasti sudah tidak asing lagi dengan kastil ini, karena di kastil inilah film itu berlatar belakang. Pemandangan pedesaan dan rumah-rumah tua khas Inggris akan menjadi pemandangan menarik disepanjang perjalanan ke arah kastil. Puas menikmati aroma sejarah dikastil, rasanya otak akan cocok menerima aroma baru yang berbeda, Pantai. Pantai menjadi barang mahal bagi pecinta liburan di Inggris. Tynemouth Longsands, pantai berbukit dengan sensasi pasir kuning. Metro atau kereta lokal menjadi pilihan untuk bisa mencapai tempat ini dari pusat kota. Dari stasiun terdekat di Cullercoats Metro, cukup berjalan kaki 10 menit untuk sampai di pantai. Aroma pantai yang selalu membuat rindu, angin berkejaran satu-satu memainkan ujung hijab yang aku pakai, untung tak sampai menerbangkan topi pantai yang baru saja aku beli. Suasana pantai.... aku jadi rindu Indonesia, alam yang banyak memberiku pantai-pantai indah yang siap untuk setiap saat dinikmati.

                Besok rencananya sebelum kembali ke London, aku ingin singgah dulu di Liverpool. Liverpool terkenal sebagai pusat budaya, di kota inilah lahir grup legendaris dunia “The Beatles”. Bahkan di kota ini telah  dibangun sebuah tempat khusus yang bernama The Beatles story, tempat yang tepat untuk penggemar yang ingin “napak tilas” grup rock paling fenomenal di era 60-an itu. Tapi kalau untuk aku sendiri aku lebih pengen pergi ke Albert Dock, Liverpool waterfront. Komplek yang didesain oleh Jesse Hartley dan Philip Hardwick ini tidak terbuat dari kayu melainkan dari batu bata, batu, dan besi, it was the first non-combustible warehouse system in the world. Setelah dari sana aku ingin mampir sebentar ke Liverpool one mall, serunya cuci mata di mal kota yang bisa aku pastikan bakalan beda banget suasananya sama mal-mal di Indonesia.
Kenapa selama di Inggris gak pernah mampir ke stadion-stadion bola terkenal? Hehehe gak terlalu ngerti bola jadinya kalau ke sana tanpa partner yang cocok bakalan Cuma bisa nge-wah-in bangunannya doang tanpa ngerti lebih banyak lagi.
Balik ke London yuk, baru keinget ada satu tempat yang terlewatkan....
“ Iinnn.....!!!!!!! ” teriakan stereo nyokap menyentakku dari lamunan.
“ Betah banget sih dari tadi ngendon di situ, masuk!!! Gak denger adzan Maghrib? Gak baik tau anak gadis Maghrib-maghrib gini bengong di teras rumah, masukkkk...!!! “
Dan teriakan itu berhasil menyadarkan aku. Yak elah, lha ternyata dari tadi aku Cuma berkhayal doang ya, kirain udah beneran aja ada di Inggris, mendadak sedih... hmmm. Aku mulai mengemasi semua barang-barang yang tercecer di meja, tak lama kemudian aku beringsut dari teras rumah, dari khayalku tentang Inggris. Kota yang indah padahal baru sebatas khayal, bagaimana dengan aslinya, pasti akan lebih luar biasa, karena  masih banyak hal yang tak aku tau tentang Inggris. Benar-benar merasakan udara London, naik Metro keliling kota, menyinggahi banyak bangunan bersejarah, bercengkrama dengan para penduduk lokal, dan menikmati malam di Inggris. Meski sekarang baru sebatas khayal siapa tau besok aku beneran bisa berdiri di sana, diantara para bule itu. Bukannya semua berawal dari mimpi?.
Aku berdiri di dalam kamar, sambil sesekali menyeruput pelan kopi pahit gelas besarku yang kini sudah dingin, dan melahap habis snack “Mister potato” yang tinggal separuh. Entah bermula darimana yang pasti sekarang aku punya mimpi baru, punya rindu baru, berjelajah, dan tujuan jelajahku kali ini tidak lain dan tidak bukan adalah mewujudkan khayalku untuk bisa berpetualang ke Inggris. Inggris tunggu aku...!!!!

AS LONG AS “INGGRIS” - Menapaki dan me-“NYATA”-kan kepulangan.





                Aku bukan seorang Inggris, bukan juga makhluk indo yang berdarah Inggris, sama sekali bukan. Kedua orang tuaku asli indonesia, tepatnya orang jawa, tak ada darah Inggris setetespun yang mengalir dalam tubuhku. Malah kalau dirunut, aku justru bernenek moyang cina dari ibuku. Tapi entah kenpa aku selalu menyebut Inggris dengan “ Pulang “. Impian terbesarku adalah bisa ‘ Pulang “ ke Inggris.

                Setiap malam setelah selesai belajar, aku akan secara otomatis mengambil posisi duduk paling dekat dengan ayah. Seperti tak sabar mendengar semua cerita, yang setiap malamnya selalu bersambung pada bagian yang membuatku  penasaran. Ayah dan Inggris, seperti sepasang sepatu yang selalu berjalan beriringan. Ayahku bukan menteri luar negeri atau seorang saudagar kaya yang sering bertandang ke Inggris, ayahku hanya seorang biasa yang teramat biasa. Beliau hanya seorang sopir angkutan umum, armada yang berhasil beliau beli setelah menguras semua isi tabungan selama puluhan tahun. Itupun juga membeli angkot bekas milik temannya yang telah meninggal. Lantas apa hubungan ayah dengan Inggris?
Saat muda dulu ayah pernah dipaksa untuk ikut ke Inggris oleh seorang pedagang kaya dari Indonesia, ayah masih berumur 15 tahun waktu itu. Ayah bekerja pada orang kaya itu sebagai karyawan di salah satu toko miliknya. Di Inggris ayah berperan sebagai asisten pribadi pedagang kaya itu, jadi kemana pun dia pergi, ayah pasti turut serta bersamanya.

                Ayah bilang disana banyak hal menarik, aku selalu menangkap kilatan kebahagiaan setiap kali ayah mulai bercerita tentang Inggris. Seperti ada rindu yang haus terpenuhi untuk bisa kembali berada di sana. Selama di Inggris ayah banyak menghabiskan waktunya di London. Pada tahun 60-an, di London terjadi suatu fenomena budaya yang berorientasi pada gaya hidup remaja, yang menenkankan pada hal-hal yang sifatnya baru dan modern, dan mereka menggunakan istilah “Swinging London”untuk menyebut fenomena budaya itu. Fenomena ini juga menjadi awal dari revolusi budaya di Inggris sebelum era “Pop” menyebar ke seluruh dunia. Inilah era lahirnya grup-grup musik yang akhirnya mendunia dan masih dikenal hingga sekarang misalnya, The beatles, the rolling stones, the kinks, dan musisi-musisi lainnya yang selanjutnya dikenal di Amerika. Ayah merasa sangat beruntung bisa tinggal di Inggris pada era itu, era pertumbuhan dan perkembangan, ayah biasa menyebutnya begitu.

                Tak hanya dalam bidang musik, pada era yang sama, lahir juga ikon-ikon mode di dunia, hingga muncullah pusat-pusat perbelanjaan seperti Carnaby Street, King’s Road dan Chelsea. Para pemuda di sana, selalu berusaha mengadaptasi life style yang berkembang dengan pola hidup, selera serta kemampuan isi dompet. Ada juga golongan remaja yang dipanggil “Mods”, dari tata rambut dan cara berpakaian, mereka banyak diasosiasikan dengan kelompok yang rasis dan neo nazi, padahal sejatinya mereka sama sekali bukan kaum neo nazi. Ayah yang ketika itu juga memilih gaya rambut botak, sempat disangka seorang mods yang rasisme, untung saja ayah dengan dibantu majikannya, berhasil meyakinkan lembaga setempat tentang asal dan tujuan mereka berada di Inggris, tak luput juga soal kepala botak ayah yang menjadi sumber masalah.

                Ayah berjalan ke sebuah almari yang tak jauh dari tempat duduk kami. Beliau terlihat membolak balik isi lemari dan mengeceknya satu-satu, aku jadi penasaran sebenarnya hal apa yang lebih menarik perhatiannya untuk segera di temukan, daripada meneruskan cerita bersambungnya kepadaku.
“ Seharusnya ada di sini “, aku pendengar suara ayah yang walaupun sepertinya, dia hanya sedang bicara pada dirinya sendiri. Tak lama kemudian ayah kembali duduk bersamaku, ada guratan kecewa di wajah tuanya, sepertinya beliau tidak menemukan apa yang beliau cari.
“ Sebenarnya aku ingin menunjukkan satu foto kepadamu, tapi sepertinya foto itu sudah hilang atau mungkin saja aku lupa menaruhnya, nanti coba aku cari lagi. “
Jelasnya kepadaku, aku jadi semakin penasaran foto apa sebenarnya yang ingin ayah tunjukkan padaku, sepertinya sesuatu yang penting, sehingga membuatnya begitu kecewa ketika foto itu tidak ditemukan.
Setelah berdehem sebentar, lantas ayah melanjutkan ceritanya. Di London, ada satu ikon yang terkenal hingga sekarang, Jembatan Menara atau lebih dikenal dengan Tower Bridge. Jembatan itu membentang di atas sungai themes, sungai yang paling terkenal di Inggris. Tidak hanya kendaraan yang melintas bebas di atas jembatan ini, tapi jembatan ini dilengkapi dengan dua koridor untuk pejalan kaki, dari ketinggian sekitar 42 meter para pejalan kaki bisa menikmati keindahan kota London dari atas. Ayah sering memilih jalan-jalan ke sana ketika sedang bepergian sendiri. Ayah suka berlama-lama di sana, melihat lampu-lampu kota, melihat kapal-kapal yang melintas, bahkan di sana juga, ayah memilih tempat untuk menikmati langit dan kerinduan. Dan ternyata sesuatu yang tadi ayah cari adalah foto saat beliau sedang berada di Tower Bridge pada suatu senja, bersama Liora seorang Inggris yang beliau kenal di sana. Itu adalah satu-satunya foto ayah di Inggris, bukti akurat keberadaan ayah di sana pada waktu itu. Aku jadi ikut menyesal kenapa foto itu menghilang, foto itu pasti salah satu barang paling berharga untuk ayah.
“ Kalau kamu sudah punya banyak uang nanti, bawa ayah kembali ke inggris ya, banyak kenangan yang tertinggal di sana, dan ayah akan tunjukan semua tempat yang ayah pernah ceritakan kepadamu.”
“ Dan kita akan foto berdua di Tower Bridge ya yah, siapa tau kita bisa bertemu Liora di sana “ celotehku asal menanggapi kaliamt panjang ayah. Ayah mengusap rambutku pelan sembari terkekeh. Ada janji yang sengaja aku buat dalam celotehku, janji pada ayah untuk menemaninya “Pulang”.

                Ada kerinduan yang teramat sangat di pancaran mata ayah saat menceritakan Tower Bridge. Sepertinya ada kenangan mendalam yang tertutup rapat untuk ayah sendiri. Ayah menceritakan begitu banyak hal tentang Inggris, tentang penduduknya yang kala itu sangat sensitif dengan sedikit saja perubahan. Kondisi keamanan yang belum stabil, apalagi masih musim pengeboman kala itu. Kota tua dan bangunan sejarah yang pernah ayah kunjungi selama di sana, mulai dari museum, kastil sampai lapangan olahraga, dan piala dunianya. Setiap gugusan cerita yang ayah sampaikan, menjelma bak hipnotis di kupingku. Setiap alur cerita yang mencoba ayah bangun, membuat aku merasa sedang berada di dalamnya, ikut merasakan apa yang sedang ayah rasakan saat itu. Hampir satu tahun ayah tinggal di Inggris, banyak orang yang tadinya asing, berubah menjadi kawan hidup. Jatuh bangun ayah rasakan di sana, mulai yang menjadi tahan seminggu pemerintahan Inggris karena kepala “botak”nya, sampai yang tinggal di sebuah rumah orang lokal karena tersesat dan kehabisan uang saat mengambil pesanan barang milik majikannya. Ayah selalu menceritakan kepadaku setiap detail yang beliau ingat, hanya satu yang beliau tak pernah bahas, meski aku pernah menanyakannya, Liora. Siapa Liora?

                Ayah meninggal sebelum aku memenuhi janjiku untuk  membawanya kembali  “pulang”. Ini akan menjadi sebuah ziarah hati ketika suatu hari nanti aku bisa ke sana. Melihat kembali apa yang pernah ayah lihat, dengan situasi yang berbeda, tidak semencekam dulu tentunya. Akan aku bawa sebuah kamera yang akan aku gunakan untuk berfoto ketika nanti aku berada di Tower Bridge, tempat kesukaan ayah. Aku yakin ayah tidak akan pernah menganggap celotehku waktu itu sebagai janji, tapi kalimat itu adalah satu janji untuk diriku sendiri. Aku ingin memunguti remah-remah kerinduan ayah yang tertinggal, menapaki sisa-sisa guratan tapak kakinya. Aku masih menyebut Inggris dengan suatu kepulangan, sampai suatu saat nanti aku benar-benar bisa pulang kembali ke sana, untuk ayah.