Senin, 31 Maret 2014

SURAT UNTUK MANTAN

"tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel bernard batubara"



" Kita pernah terguyur hujan bersama. Kita juga selalu bersama di terik siang. Kita tak pernah lupa berbagi tawa. Kita juga tak segan menangis bersama. Semua kita pernah lewati bersama, saat kata "KITA" masih mewakili aku dan kamu."

     Dear You,

     Aku berdiri di sini, di kota ini dan di tempat ini, dimana untuk kali pertama aku melihatmu. Dari jauh, dan hanya dari jauh aku selalu mengagumi senyummu, tawamu dan suara lembutmu. Di sini, di tempat aku berdiri sekarang, aku masih ingat itu, aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertamaku. Genggaman tanganmu begitu erat, seakan tak mau lepas. Tatapan matamu tajam, seolah tak membiarkan aku sedetik saja lepas dari penglihatanmu. Aku di sini, berdiri di tempat ini mengingatmu...yang selalu mendekap saat aku rapuh. Merengkuh saat aku jatuh, dan kamu...kamu yang memberi warna pada duniaku. Setiap hari ada senyum itu, tapi itu dulu...sebelum hari dimana aku berdiri sekarang. Dan aku, masih berdiri di sini, tak ada lagi sosok itu dan tak ku temukan lagi senyum itu. Di tempat ini aku masih berdiri, ingin aku beranjak tapi ku tak mampu. Aku masih ingin senyum itu, tapi semua terlalu sadis untuk membiarkan aku menangis. Dan aku masih di sini, menunggu waktu kau temukan aku. 

     MAS, siang ini aku duduk di tempat biasa kita berbagi cerita. Hari ini tidak terlalu ramai, suasananya tenang, satu kondisi yang kamu sukai. Aku selalu menyempatkan waktu ke sini, terlebih saat aku merindukanmu. Kamu ingat terakhir kita liburan bersama? Dalam satu hari kita berpindah 4 kota. Itu perjalanan terpanjang kita yang pertama, perjalanan yang berakhir di Kota Jogja. 
Aku masih hafal wangi ombak pagi itu, seberapa kencang angin yang memain-mainkan ujung hijabku. Kita ada di belahan bumi yang sama, kita duduk di tempat yang sama. Kita ada dalam situasi yang sama dan kita melihat awan yang sama, tapi bodohnya aku, aku tak pernah tau kalau ternyata kita sudah menggambarkan bentuk awan yang berbeda.

     Kamu berdiri tepat dibelakangku, bila saja aku memejamkan mata ini sekarang, aku masih bisa merasakan pelukanmu. Tanpa kata, tanpa tanya, kita memilih untuk membisu, hanya tatapan mata kita yang jauh sesekali mendapati obyek yang sama. Aku merasakan hembusan nafasmu satu-satu, hangatnya menjalar hingga semua kalimat tanya yang siap keluar dari mulutku seakan hilang bersama setiap hembusan itu. Lama kita mematung, aku mulai merasakan pelukanmu mulai mengendur, perlahan, pelan hingga ada satu langkah mundur, langkah itu terus bertambah, langkah itu mulai panjang dan menjauh. Kamu memutuskan pergi, tanpa kalimat dan tanpa koma, kamu langsung memilih titik untuk mengakhiri ini.

     Kamu tak ada kini, meninggalkan aku dengan begitu banyak kalimat tanya. Aku tak tau kenapa tanpa sepakat kamu merubah "Kita" kembali menjadi aku dan kamu. Kita baik-baik saja selama ini, bahkan terlalu baik hingga saat kau mulai hilang, datang dan pergi sesuka hati aku selalu dan masih menunggumu kembali. MAS, tau kah kamu apa artinyanya kamu buat aku? Kamu adalah warna. Yang menjadikan hitam dan putihku tak lagi berkuasa. Kamu menjadikan birunya langit sebagai penghapus sedihku. Kamu kenalkan aku pada Tuhan dari damainya hijau. Kamu ajarkan aku berani menghadapi semua segarang merah. Kamu melarangku sombong, kamu teladanku berendah hati seputih jiwa. Sinar terang matahari kamu jadikan semangatku dalam kuning. Jinggamu kau bawa pada indahmya cakrawala. Aku mulai menghargai perbedaan setelah mengenal lebih dekat damainya merah dan biru menjadi satu berwujud ungu. Kamu adalah warnaku, kamu serupa apapun yang aku mau. Bersamamu, aku tak perlu menjadi kamu untuk mengerti kamu pun kamu, tak perlu menjadi aku untuk mengerti aku, aku dan kamu hanya perlu menjadi "Kita" tanpa harus menggunakan koma.

     Tapi kini, warnaku menjadi abu-abu, tak ada lagi kamu. Ragamu sudah tak lagi tersentuh, bayangmu semburat kabut, namun aku tau keberadaanmu selalu ada. Jauhmu membuat mataku tak mampu menjangkau, tapi kamu perlu tau, doaku selalu tersampaikan walau dimanapun kamu berada. 
MAS, kenapa kamu memilih untuk meninggalkan "Kita"?
Kalimat tanya yang tak pernah ku dapati jawabannya. Kita masih punya rasa yang sama, kita masih saling melihat dalam kaca mata media tapi kita terlalu sombong, kita terlalu angkuh untuk merangkul ego. 
Kamu tau, seperti apapun kamu, aku tak bisa membencimu...karna rasaku masih lebih kuat dari benci itu. Aku bertahan dalam titik yang bagiku hanya koma, karena aku tau, setiap rasa pasti akan mendapati takdirnya, semua tinggal menunggu waktu, itulah mengapa tercipta sebuah jeda. Dan jika kamu adalah takdirku, maka tunjukkan aku jalan kembali kepadamu....



Sherina - Simfoni Hitam

Malam sunyi kuimpikanmu
Kulukiskan kita bersama
Namun s'lalu aku bertanya
Adakah aku di mimpimu

Di hatiku terukir namamu
Cinta rindu beradu satu
Namun s'lalu aku bertanya
Adakah aku di hatimu

T'lah kunyanyikan alunan-alunan senduku
T'lah kubisikkan cerita-cerita gelapku
T'lah kuabaikan mimpi-mimpi dan ambisiku
Tapi mengapa ku takkan bisa sentuh hatimu

Bila saja kau di sisiku
'Kan ku beri kau segalanya
Namun tak henti aku bertanya
Adakah aku di rindumu

Tak bisakah kau sedikit saja dengar aku
Dengar simfoniku
Simfoni hanya untukmu....



Jumat, 28 Maret 2014

Sobekan pesan untukmu Pelangi - Part 1

          " Aku kehilangan warna, seakan aku buta warna, karena sekarang aku hanya mampu melihat abu-abu "

     Masih ada sisa sembab di mataku. Pukulan tangis semalam, menyisakan bekas yang seolah memberi kesempatan pada setiap orang untuk tau kondisiku. Aku berjalan menunduk, mencoba meminimalkan pandangan orang kepadaku. 
Terbayang ulang di tempat itu beberapa waktu lalu. Ketika dengan penuh harap aku bersabar menunggu. Sebuah bus kota yang padat memindahkan aku dari pelataran kantor baruku kesebuah tempat ramai yang asing. Aku terhenti pada sebuah halte tak berpenghuni. Tepat dibelakangku, sebuah bangunan megah terlihat begitu sibuk. Aku mengambil sebuah sudut dibawah jembatan penyeberangan. Tak banyak orang disana hanya ada aku dan seorang wanita berpakaian modis sedang bermain-main dengan handphonenya, sesekali aku melihatnya tertawa. Aku duduk berjarak satu bangku darinya. Disini terlalu remang, tak banyak orang berminat untuk mengambil duduk disekitar kami, tapi aku justru merasa lebih baik disini.

     Aku teringat kembali akan gundahku, cepat aku ambil handphone dari dalam tas kuningku. Kembali aku mencoba mendial nomor yang sudah kesekian kalinya tak merespon. Aku hampir menyerah, puluhan pesan yang aku kirim tak satupun terbalas. Begitu juga panggilanku, tak sekalipun terjawab. Aku benar-benar lelah, kulepas sepatu kerja 10cm itu. Ku dapati beberapa lecet di kaki ku, mungkin karena sepatu ini yang baru, atau karena aku terlalu banyak berjalan hari ini? Entahlah...
Aku sangat haus dan baru tersadar bahwa sedari pagi tadi aku belum makan.
" Kamu tenang ya, disini ada aku. Kamu butuh apapun dan kapanpun, kamu tinggal bilang aku. Hari ini aku free dan aku siap melayani kamu."
Kalimat itu kembali terngiang di otakku. Kamu yang menjanjikannya, aku tak pernah meminta, dan bila sekarang aku berharap kamu memenuhinya, apa itu terlalu tinggi?. Kembali sebuah pesan aku kirim kepadanya, berharap kali ini kamu membalasnya. 

     Aku sungguh tidak sedang manja, seandainya saja aku hafal tempat-tempat disini, atau setidaknya aku tau aku harus kemana mungkin aku tidak akan sepanik ini. Di kota besar ini aku sangat asing. Baru beberapa kali aku kesini, itupun hanya ke satu tempat pasti dan tak singgah kemanapun lagi. Malam semakin larut, udara yang seakan panas menyisipkan dingin yang membuat kudukku meremang. Aku tak bisa pulang ke rumah sekarang karena besok pagi harus ada yang aku selesaikan di kantor. Rumahku dengan kota ini sejauh 5 jam perjalanan itu kenapa aku harus tetap tinggal disini malam ini. Tapi masalahnya aku tak mengenal siapapun disini, kecuali dia. Dia, dia yang sekarang entah dimana. Mungkin saja dia lupa bahwa pagi tadi dia telah berjanji untuk menjaga orang asing ini.

     Kalau saja aku hilang kesadaran, kupastikan aku sudah berteriak kesal dan menangis histeris. Tapi sayang, aku masih cukup sadar.
Seandainya di tau...ada banyak cerita yang ingin aku sampaikan kepadanya. Ah...sudahlah mungkin saja dia benar-benar lupa.
Aku bangkit, kupakai kembali sepatu yang menyisakan lecet pada kedua kakiku. Aku mulai berjalan, rok panjang yang aku pakai mulai terlihat kumal. Sedikit tertatih, aku merasakan perih yang teramat. Langkah ku satu-satu terayun tanpa arah pasti. Ku pandangi sekitarku, tak ada lengang disini tapi aku begitu sendiri. Beberapa menit yang lalu, sebuah pesan dari ibu masuk di inbox ku. Ku wartakan kepada beliau betapa bahagianya aku disini, tempat tinggal yang nyaman dan makanan yang enak. Cukup untuk membuat beliau tidak khawatir, meskipun apa yang terjadi padaku sekarang masih belum pasti.

     Langkahku semakin jauh, tapi semakin tak berarah. Sisa uang di dompetku tak memberiku peluang untuk asal memilih hotel, aku harus tau diri. Berjajar hotel-hotel mewah hanya mampu aku pandangi sambil berlalu. Aku sangat lelah, aku hanya ingin tidur, merebahkan penat ini.
Sebuah teriakan memaksaku berhenti. Seorang cowok bermata sipit melambaikan tangannya. Aku mematung, memastikan apa benar lambaian itu untukku. Seakan tak sabar akan responku, dia parkir motornya ditepi jalan, dan dengan sedikit berlari dia ke arahku. Remang ini masih membuatku membisu. Dia tidak terlalu tinggi, kulitnya putih dan banyak bekas jerawat di pipinya. 
" Hei...mau kemana?"
Sapanya, setelah berhenti tepat didepanku. Astaga, iya sekarang aku mengenalnya, Aul...mantan partner kerjaku dulu. 
" Aul...." sedikit berteriak aku memastikan itu benar dia. Anggukan kepalanya seperti angin segar buatku, langsung kupeluk tubuh bantatnya. Rasa lega menjumpai orang yang dikenal di tempat asing itu, seperti orang puasa yang mendapati adzan maghribnya. Masih tak percaya kupandangi sekali lagi wajahnya, dan benar saja memang wajah Aul yang dihadapanku sekarang.
" Aku pikir tadi aku salah lihat, ternyata ini memang bener kamu." Suaranya renyah, raut wajahnya begitu bersahabat.
" Mau kemana malam-malam begini, disekitar sini?" 
Aku tak langsung menjawab, seperti cermin aku mengikuti gerakan kepalanya yang celingukan melihat-lihat sekitaran kami. Lama tak mendapati jawaban dia meneruskan kalimat tanyanya.
" kamu sendirian?"
Aku mengangguk, dan pelan aku mulai menceritakan perihal adanya aku disana. Dia menggenggam erat tanganku, mungkin saja itu caranya untuk menenangkan aku.
Sesaat setelah ceritaku berakhir dia menggandeng tanganku menuju motornya yang dia parkir sembarangan.
" Ada aku sekarang, aku yang akan membantumu, jangan sedih lagi ya." Senyumnya membuat aku merasa sangat lega.
Deritan motor bututnya mengantar aku menyusuri malam di kota ini. Aku sama sekali tak bisa merasakan indahnya lampu-lampu kota ini. Otak tak semudah itu menerima. Lama kami berada diantara kendaraan lain yang saling beradu suara. Sampai akhirnya motor dia hentikan di depan sebuah bangunan yang biasa saja dan jauh dari kata istimewa. Gerakan matanya mengisyaratkan kepadaku untuk mengikuti langkahnya. Aku menurut, dibelakangnya aku berjalan memasuki tempat itu. Ini hotel? Tanyaku dalam hati ketika pintu mulai terbuka. Hanya ada sebuah meja setengah lingkaran dan seorang lelaki berkaos putih berdiri disana. Dari kejauhan aku melihat Aul yang sedang berbicara pada, hmmm mungkin saja dia harus aku sebut resepsionis. Aku mendekat dengan ragu, ada sebuah kunci yang kini beralih tempat ke tangan Aul.
" You are a lucky girl, i get the room for you my sista." Sapanya setelah aku berdiri disampingnya. Sumringah aku menanggapi celotehnya, dengan cepat aku selesaikan pembayaran, aku hanya ingin cepat masuk kamar dan tidur. Aku hanya ingin lupa semua hal yang terjadi padaku hari ini.
" Dan tidurlah, aku tau kau lelah. Besok pagi sekali aku akan kesini, akan ku bawakan kau baju ganti, karna aku tau tak ada baju ganti dalam tas mu itu." Ujarnya setelah menaruh tasku di meja dekat televisi.
" Aku akan pulang sekarang, sebaiknya kau rawat lecet di kaki mu itu kak, pasti itu perih sekali. Okay selamat malam, sampai ketemu besok ya." Seakan tak menunggu jawabku, dia langsung menutup pintu itu dan pergi.

     Punggungnya tak lagi terlihat. Ku rebahkan tubuhku di kasur. Rasa lelah ini tak membuatku ingin pergi mandi. Aku sungguh hanya ingin menenggelamkan otakku di bawah bantal. Warna-warna dunia yang begitu indah seketika lenyap bersama tak hadirnya kini. Satu-satu air mata ku jatuh, aku tenggelam dalam dalam ingatanku pagi tadi, ketika untuk kali pertamanya aku melihat sosok yang begitu dan selalu teristimewa di hati. Senyumnya dan hangat sapanya membuat tangisku makin menjadi. Kami banyak bertukar tawa sepanjang perjalanan tadi. Dia menungguiku dengan setia sampai aku menyelesaikan satu kerjaanku. Pun saat jam makan siang tadi, dia mengajakku ke satu mall yang sebelumnya sekalipun aku belum pernah kesana. Kami berjalan beriringan, dia terus menggenggam tangan ku seolah tak ingin sedetik saja melewatkan waktu tanpa hadirnya aku. Aku sungguh merindukan pria ini, aku sangat menyayanginya. Dan siang itu, kami sempatkan menonton film, satu kegiatan yang dulu, dulu sekali sering kami lakukan bersama. 
Dia adalah warnaku, akan tak akan merasa jadi indah tanpanya, dan aku tak akan pernah bisa sempurna tanpa hadirnya, meski aku tau sekarang aku dan dia sudah tidak menjadi kita. Lama sudah kata "Kita" hilang dari hubungan kami. Tapi aku yakin tanpa kata "Kita", kami masih saling memiliki rasa yang sama, rasa yang selalu ada.

     Duniaku terasa hambar, ku edarkan pandanganku menyapu seluruh ruangan. Tak ada warna lain yang tertangkap mata kecuali hanya ada abu-abu. Aku kedipkan beberapa kali mataku berharap penglihatanku bisa kembali normal, nihil...aku tetap tak menemukan warna lain. Tangis ku kian menjadi, warna-warna itu sirna bersama raibnya dia.
Sehebat itukan dia? Menenggelamkan aku pada dasar abu-abu, kudukku meremang kembali aku begitu merasa ketakutan. Aku ingin menemukan warnaku tapi semua hal yang tertangkap mata tak mengeluarkan warna lain kecuali abu-abu. Selang satu jam aku masih mematung diantara tembok dan bantal yang kudekap. Handphone ku berdering, ada sebuah pesan masuk yang siap untuk dibuka. Ragu, tidak bukan ragu tapi cukup malas untuk membuka, tapi tetap ku raih handphone itu.
Sebuah pesan yang berisi : " Aku ketiduran.", tanpa ada kata maaf dan pertanyaan dimana dan bagaimana keadaan kamu sekarang. Dia pengirim pesan itu, balasan yang sedari tadi aku tunggu justru sekarang aku tak berminat untuk membalasnya. Ku usap sisa air mata di pipi ku. Ku kembalikan handphone itu ke tempat semula, ku ambil bantal yang hanya berjarak sejangkauan saja dariku. Ku tenggelamkan seluruh mukaku di bawahnya, aku tak ingin melihat apa-apa lagi, aku hanya ingin tidur dan lupa. Balasan yang aku tunggu telah aku dapat, tapi tak selayaknya diperjuangkan. Warnaku terlanjur abu-abu, dunia seakan mengambilnya dariku. Aku tidak akan memprotes itu, aku akan berproses saja pada perubahan ini. 

Dan malam itu adalah malam terakhir aku menerima pesannya. Itu terjadi beberapa waktu yang lalu. Tapi prosesnya masih tersisa hingga saat aku mengeluh akan sembabnya mata ini. Tuhan telah mengganti warnaku dengan perginya kamu, rasa kecewa ini memang tak begitu kuat untuk mengalakan rasa yang ada, tapi kamu yang pergi, kamu yang memunggungiku jadi salahkah aku bila sekarang aku memilih abu-abu ini, hingga nanti Pelangi akan menghujani ku lagi?


Rabu, 26 Maret 2014

Kotak kecil ku

     " Suara malam menandakan hening. Aku terpaku tatkala rayapan sepi sampai pada masanya."

     Sepertinya ada seekor tokek sedang menghuni bagian kecil dari atap rumahku. Tapi tak ku tau dimana tepatnya, sosoknya tak pernah terlihat, hanya senandungnya saja yang sering terdengar tak mengenal waktu. Dan malam ini suaranya kembali mengagetkan aku, ketika aku akan masuk ke kamar mandi tadi. Itu tadi... Dan sekarang aku rasa...
Malam ini terlalu sunyi, aku menunggu suara tokek itu lagi, setidaknya agar ada obyek yang bisa didengar.

     Ada segelas kopi susu dengan balutan creamer di meja kamarku. Dia masih terdiam disana, menungguku untuk menyentuh dan menikmatinya. Tapi, sesekali aku hanya mencuri pandang ke arahnya tanpa rencana untuk mendekat. Bukannya aku tak berminat padanya, hanya saja aku ingin memberi jeda pada panas untuk menjadi hangat. Agar aku bisa menikmatinya dengan sempurna. Kuperhatikan jam meja berbentuk sapi kecil disamping gelas kopi yang mengepul itu. Lama ku pandang, tak bergerak sedikitpun jarum-jarumnya. Tak ada suara detakan yang menandakan dia berkondisi baik, ah sepertinya besok pagi aku harus ke mini market dekat rumah untuk membelikannya nyawa baru.

     Jangkauan tanganku meraih dua buah bantal kecil. Satu berbentuk hati yang berwarna merah, sedangkan lainnya persegi panjang pink. Aku melihatnya sejenak, dua benda ini dari dua orang yang dulu pernah aku sayangi, yang mungkin saja saat ini mereka telah lupa pernah memberiku bantal-bantal lucu ini. Dibalik pintu kamar tergantung dua buah gaun pesta yang baru-baru ini aku pakai, aku belum sempat membawanya ke loundry itu kenapa gaun putih pemberian nyokap dan satu gaun yang aku pesan bersama sahabatku masih tergantung manja di sana, semoga pintu itu tidak keberatan.

     Dinding pucat kamar ini sudah menemani aku beberapa tahun ini, sudah waktunya aku mengganti warna agar suasana di sini sedikit berbeda. Tempat tidur yang terbuat dari kayu jati hutan ini, awalnya nyokaplah yang ngidam pengen punya. Tapi gak tau kenapa, setelah beberapa saat justru aku yang pakai sekarang. Ada suara deritan yang terdengar setiap kali aku bergerak. Berisik sekali, tapi aku selalu merindukan tempat tidur ini. Warnanya yang masih clasic terlihat begitu serasi dengan sebuah almari panjang diseberangnya. Tempat aku meletakkan banyak barang-barang berhargaku, ya...semisal peralatan make up, koleksi buku-buku ku, kotak-kotak aksesorisku hmmm banyak juga ternyata benda lain yang tertata disana, wah waktunya sortir ulang nih.

     Sebuah jendela terletak tepat dipandangan mataku sekarang. Korden hijaunya kompak ada di seluruh kamar di rumahku. Disampingnya ada meja pendek tempat arsip-arsip berharga istirahat. Jangan melihat ke bawah, aku mohon jangan. Tas-tas berserakan tak terurus yang kadang membuat ku kesal sendiri ketika harus buru-buru tapi tak juga menemukan tas yang pengen dipakai.

     Kamar ini tak begitu luas, malah terbilang sangat cukup, sehingga tak mungkin menampung barang lagi. Setiap malam ruangan kotak dengan lampu yang jarang aku nyalakan inilah, aku mendekap mimpi. Dua bantal besar, dua bantal lucu, dua guling besar, satu guling lucu dan sebuah selimut bergaris. Isi kamar ini tak banyak, semua justru terbilang sangat sederhana. Tapi aku bisa mimpi indah bersamanya. Tempat yang kadang menjadi satu-satunya yang tau aku menangis, aku marah dan tempat yang nyaman untuk menulis. Tempat yang tak pernah protes ketika kudandani dengan semauku. Tak pernah meminta lebih justru membantu menyimpan yang ada. Dia tak mengeluh dengan semua polahku, dan dia tak pernah bosan dengan ku dan segala tentangku. Dindingnya yang kala ku pegang selalu menyejukkan memberiku arti. Kamar ini menghangatkan aku tapi dia tak pernah lupa untuk memberiku sebuah kesejukan.

     Terkadang suara riuh nyamuk, mulai mengamuk diseputaran kupingku. Entah kenapa kamar ini juga mengijinkannya tinggal. Aku yakin sebenarnya dia tau kadang nyamuk itu mengganggu kenyamanku. Akan tetapi kamar ini tak pernah mengusir nyamuk-nyamuk ini, mungkin karena...kamar ini ingin mengingatkan aku. Bahwa dimanapun, ditempat yang senyaman apapun, pasti akan tetap ada satu hal yang akan membuat kita sadar. Kita hidup selalu berdampingan dengan yang lain, entah itu akan memberi kita sesuatu yang positif maupun yang negatif. Tugas terpenting kita adalah bagaimana kita bersikap dan bagaimana kita bisa memposisikan diri dengan baik.

     Kotak yang tak begitu luas ini banyak mengajarkan aku tentang hidup. Dari semua yang ada padanya hingga bagaimana dia selalu bersikap.
Terkadang aku menginginkan kotak lain yang lebih luas dan lebih nyaman. Ketidak puasanku terbalas dengan diam olehnya. Dia tak pernah marah walau terkadang aku tak sedang menginginkannya. Dia masih setia, dan bahkan dia tidak memilih penghuni lain, dia masih mendekapku seperti biasa. Melindungiku sampai saat aku memutuskan pergi dan mendapati kamar baruku. Sejauh apapun aku pergi, kepulanganku tetap disini dan kamar ini pasti akan tetap menerimaku.

     " Teman sejati itu tak harus mereka yang terlalu banyak bicara. Terkadang diam itu lebih setia."

Sabtu, 22 Maret 2014

Disayangkan...

     Seingetku dulu, hari minggu adalah surganya anak-anak. Acara televisi yang menyuguhkan program untuk mereka saling berebut perhatian. Tapi hari minggu jam sekarang justru jadi biang neraka, kebanyakan program televisi menampilkan penampakan para alay yang gak pernah absen nongol 24jam dalam 7hari. Kalau media saja membantu membunuh karakter anak, lantas kenapa harus heran ketika mereka, para bocah itu kehilangan identitas mereka. Tak ada lagi lagu anak, mereka justru tak pernah tau apalagi menghafal lagu untuk mereka. Yang ada otak mereka tersuntik dengan halus oleh lagu-lagu orang dewasa yang penuh dengan segala macam arogansi cinta. Lalu mereka harus lari kemana lagi kalau saja layanan internet juga dipenuhi oleh situs-situs dewasa yang dengan mudah terakses. Lantas heran kah kita kalau ada perkosaan anak dibawah umur? Anak yang pikirannya sudah dewasa sebelum waktunya? 

     Tak jarang mata menangkap sosok mereka berkeliaran bergandeng tangan dengan lawan jenis. Coba kita tanya lebih tau mana mereka antara kata "pacar" dan "pancasila". Bisa kita bandingkan sefasih apa mereka menghafal lagu cinta dengan lagu lihat kebunku. Masih ingin generasi penerus yang lebih baik, kalau tumbuh kembang otak mereka saja sudah banyak terkontaminasi?
Berdoa saja...

     Mataku selalu lekat saat membaca banyak berita pembunuhan akhir-akhir ini. Tidak main-main karena sebagian dari mereka adalah anak dibawah umur. Lihat itu...bahkan otak membunuh mereka saja sudah terbangun kuat!!!! Aku, saat seusia mereka dulu jangankan melukai orang lain, melihat darah yang keluar dari leher ayam yang disembelih saja tak pernah tega. Dan hampir 90% aksi itu didasari karena cinta, keaneka ragaman bentuk dan akibatnya.

     Aku punya true story tentang masalah cinta anak jaman sekarang. Ini terjadi pada adik lelakiku.
Petang itu sepulang kerja, aku mendapati segerombolan cowok yang sedang mengitari adikku, di pinggir jalan ketika dia menungguku pulang kerja. Aku setengah berlari tanpa kata mendekat. Aku mendengar perdebatan yang terjadi. Sebuah pukulan mendarat tepat di kepala adikku sebelum aku sampai. Darahku langsung naik, rasa tak terima melihat perlakuan kasar itu membuat aku berteriak. Dan well terikan itu berhasil menyita pandangan mereka. Semakin aku dekat semakin aku dengar apa pembicaraan mereka. Ada seorang cewek berseragam putih abu-abu berdiri ditengah mereka. Awalnya aku berpikir pertengkaran itu pasti terjadi karena rebutan pacar, tapi ternyata aku salah.
Cewek itu adalah mantan dari cowok yang tadi memukul adikku. Dan aku tau cewek itu bukan pacar adikku. Ada apa sebenarnya?

     Aku mendengar masing-masing alibi mereka. Aku berusaha tak memihak siapapun. Kalaupun saat itu adikku memang yang salah, aku sendiri yang akan mengurusnya. Tapi ini lucu...
Setelah aku mendengar masing-masing dari mereka termasuk si cewek, masalahnya sepele sekali...
Karena inbox di fb.
Adikku dan cewek itu yang notabene temenan dari kecil sering chat di fb. Dan ada salah satu kalimat di chat itu yang tulisannya begini "muach muach muach". Yap yap dan kalimat itulah yang bikin cowok itu marah. Jadi si mantan itu cemburu gitu ceritanya. Hadeh...
Adikku kena pukul dan didamprat segerombolan cowok kurang kerjaan yang cemburu pada mantan yang dapat inbox dari sahabatnya bertuliskan "muach". Ini mereka udah SMA lho, tapi pikirannya pada cetek banget. Gini nih kalau kecil sok dewasa giliran udah besar justru kaya abak kecil. Tapi tetep aja gitu tu cowok gak mau aku sebut anak kecil. Padahal jelas banget itu bukan masalah, orang si cewek sama adikku dengan kompak ngasih alibi yang sama, cuma tu cowok tuh yang bikin alibi sendiri. Udah gitu marah-marah dengan kata-kata kasar. Sama sekali gak menghargai aku sebagai penengah dan orang yang lebih tua diantara mereka. Bahkan tak jarang dia menunjuk-nunjuk mukaku dengan jari telunjuknya. Ini anak gak punya sopan sama sekali. Bahkan untuk meredam emosi saja dia belum mampu. 

     Hmmm, aku yang sangat rindu masa kecilku dulu jadi ingin mengajak semua anak kecil sekarang untuk ikut denganku. Agar mereka tau bagaimana indahnya menikmati masa kecil selayaknya anak kecil. Aku tak pernah rela mereka terdewasakan oleh hal-hal yang seharusnya belum mereka dapatkan. Kalau kelak aku menikah dan punya anak, aku ingin anak-anakku tau apa itu dunia anak. Tanpa bahasa cinta ala remaja, tanpa media perentas otak dan biarkan mereka menikmati dunia anak mereka, dengan lagu-lagu untuk mereka dan tontonan pembangun otak yang baik.


Jumat, 21 Maret 2014

Karena ini "A K U"

" Aku, sesederhana katanya, aku tak mewakili siapapun kecuali AKU. "

Renyah suara pagi ini membangunkanku. Suara-suara ayam yang entah milik siapa, burung bercicit seperti sedang meeting pagi, dan gas-gas kendaraan yang mulai memenuhi atmosfir bumi.

     Aku, masih berada di dalah kotak kecil yang ku sebut kamar. Berusaha tak menghiraukan dunia, aku belajar mengacuhkannya. Aku, dengan kedua bola mata yang sudah bersinar segar, otak yang penuh beban sudah 100% sadar, badan yang brasa tertimpa karung beras berkarung-karung, meminta aku untuk tetap senyaman mungkin didekap kasur.

     Aku, subuh tadi sempat ku lihat dengan jelas kabut tebal sisa hujan semalam. Aku, sepertinya lupa bagaimana rasa dingin, hingga saat kaki telanjangku menjejaki rumput, air embunpun tak memberi sensasi apa-apa. Aku, dan semua yang ada padaku. Aku, dengan semua yang terjadi padaku, ada alasan yang belum aku tau.

Tak pernah aku, berdiri serapuh ini. Gigitan semut merah kecil saja akan mampu menumbangkan aku.

    Aku, yang menjauh dari dunia. Yang secara halus mengusir mereka dari seputaranku. Aku, bukan karena egoku. Aku, terlalu lelah, terus tampak tegar...tampil sempurna...wajah dengan topeng senyum...aku, ingin mereka tau!!!! Aku, rapuh...

     Semua yang aku tau tentang dunia hanya menambah beban otak yang hampir karam karena kelebihan muatan. Ini bukan salah mereka, karena aku...aku, yang menjadikan setiap yang aku tau menjadi sebuah beban.
Otakku terlalu bodoh untuk mudah berkhayal, bermimpi dan berharap. Aku, tau ke-tiga hal itu yang membuat dunia ku terus abu-abu. Seolah otak yang bodoh ini tak bisa lepas dari hal-hal itu, meskipun berjuta kali harus terjungkal karenanya.

     Aku, hanya ingin berhenti. Aku, ingin menjadi seperti mereka-mereka yang bahagia. Selalu ada tawa, otak bekerja dengan baik, dan tak perlu merasa sendiri saat semua ada.
Aku, rindu bahagia. Aku, rindu tersenyum. Aku, benci terluka. Aku, benci terus menjadi orang bodoh.
Kalau saja aku boleh meminta, aku ingin menjadi aku...

Apa itu tawa? Aku tak mengenalnya lagi setelah banyak hal memberiku tangis. 
Lampu kamar ini jarang sekali aku hidupkan. Aku suka gelap seperti ini, karena aku tak harus banyak melihat. Biarlah abu-abu ini disini, kalau saja waktunya tiba, Pelangilah yang akan memberinya warna. Biarlah aku lupa bagaimana tertawa, tapi semoga aku masih bisa menjadi alasan seseorang untuk bisa tersenyum.

Dear Pelangi tak bisakah engkau cepat datang????

Kamis, 20 Maret 2014

Sebelum "titik"

     Suara jam piggy yang menempel di tembok kamar yang menghadap ke arahku terdengar lebih nyaring dari biasanya. Bahkan detak dari arloji kecilku pun terdengar jelas. Malam semakin larut ketika aku memutuskan menghabiskan sisa malam ini untuk menulis.

     Di satu kotak tempat yang menaungiku, aku tak bisa banyak bergerak. Berjuta resonansi pikiran yang menyebar rata di seluruh persendian alam sadarku membuat aku menciut. Kudapati bias, tak banyak, sehingga tak mampu memunculkan senyum.

     Aku rasa, aku kehilangan banyak hal akhir-akhir ini. Aku lupa cara tertawa, terbahak, selepas mungkin, sampai air mata ikut mengalir. Aku ada di sini sekarang, pada situasi yang tak banyak memberiku pilihan. Aku hanya sedang menunggu, entah harus berpegang pada yang mana aku untuk bisa lebih kuat nanti.

     Cahaya yang sebelumnya aku sangka akan ku dapat jauh lebih cerah, ternyata meredup. Redup....hingga aku perlu menyipitkan mata untuk bisa melihat lebih jelas. Dan ruang gerak ini semakin menyempit, menekan keberadaanku.
  
     Aku rindu sesosok pelangi, aku terus menunggunya. Pelangi, dia lah yang akan menjemputku, dia yang mengajarkan aku bersabar. Karena pelangi tak akan sembarang muncul dan datang. Pelangi tau kapan dia harus tampak, dan kepada siapa dia ingin dilihat. Aku menunggunya, entah sampai kapan....

     Kamu tau warna biru? Dia sosok biru yang menjadi alas sang pelangi, yang menjadikan warnanya lebih kaya.
Dan kamu mengenal jingga? Sesosok duplikat yang aku menyebutnya gerbang pelangi. Pesona warna yang susah untuk mataku mengurainya. Semburatnya mendekatkan mataku pada cakrawala.

     Aku menyebutmu PELANGI. Paduan cipta warna, hasil karya Sang Maha Pencipta, dan tak seorangpum mampu menyamainya. Dia penuh warna, dengan hijaunya yang meneduhkan. Merah adalah pemimpin yang tak takut mati. Cakrawala meminjamkannya jingga. Kuning mewakili kilauan matahari yang tak kunjung kehabisan sinarnya. Biru lah alas yang menjadikannya lebih indah. Semburat nila dan ungu menjadikan aku selalu ingat bahwa setiap warna tunggal yang tak kenal egois, bila disatukan akan menghasilkan keindahan yang lain. Warna-warna yang menjadikan mataku selalu berkaca-kaca. Damai, tenang dan menjanjikan kesanggupan setia.

     Aku ingin segera bertemu pelangiku. Agar warna mendung ini tak berlarut pekat. Suara dentingan jam piggy dan arlojiku kembali membawaku ke ruangan ini. Tersentak aku akan kesendirian sepi ini yang membuat aku bisa dengan jelas mendengar setiap detakannya. Bahkan sekarang suara tunggal yang terdengar, menjelma serupa bentuk dalam otakku.

     Dimana pelangi itu? Kenapa bukan dia yang kujumpai dalam otakku. Aku lelah, dan kasur ini menina bobokan aku, erat guling ini mendekap tubuhku, perlahan hangat menjalar rata keseluruh tubuh karena selimut memelukku, tersisa satu dan dia berbisik "Selamat tidur, tenanglah...esok pelangi akan datang bersama senyummu", bantal mengantarku terlelaap. Selamat malam!!!

Selasa, 18 Maret 2014

B I B O Y it's my Enguio

When i first saw u, i saw love.
When the first time i hear u'r voice, i hearing love.
And after all of this time, u'r still the one i love.

Orang bilang rasa itu akan ada karena intensitas bertemu. Mereka bilang dengan lebih dekat dan mengenal pribadi seseorang, rasa itu bisa saja mampir. Bertemu, kenal lantas menjadi dekat adalah kunci yang dibangun otak untuk menjadikannya sebuah rasa. Tapi bagaimana jadinya kalo rasa itu telah lebih dulu singgah sebelum mata saling menatap, tangan belum saling berjabat, suara belum saling terdengar bahkan sadar akan hadirnya belum sepenuhnya ada?

           I saw him.....
I know his name, Ebrahim Enguio Lopez. If other called him Biboy, i'll call him Eboy :')
Aku sungguh tak pernah mengenalnya sebelum ini. Aku hanya tau dia dari kacamata media yang mewartakan beritanya kepadaku.
Sosok yang terlihat biasa saja awalnya ternyata bisa mengalihkan duniaku pada akhirnya.

Pagi yang terlampau pagi aku sudah bersiap. Ini adalah waktu yang tepat untukku melihatnya dalam wujud nyata. Tak lagi terhalang kertas koran. NBL seri III Solo menjadi momen pengantar untukku bisa lebih dekat dengannya. Aku datang untuk team kesayangan, dan sekarang menjadi semakin sayang karena ada dia disana. Aku memilih tempat duduk yang sekiranya aku mudah untuk menyapa para pemain. Pertandingan malam itu antara Aspac vs Cls. Saat satu per satu para pemain keluar, mataku langsung memicing mencari sosok yang aku tunggu. Dia ada dan dia disana, berdiri dengan deretan para pemaim lainnya. Dia ada dan dia disana bersiap untuk berlaga dan membuat aku semakin ternganga. Malam itu aku sempat kecewa, karena team yang duduk di bangku depan ku ternyata bukan Aspac. Aku tak bisa melihatnya sedikit lebih dekat sekarang.

Tapi tak mengapa karena saat pertandingan di mulai aku tetap bisa melihat aksinya dan meneriaki namanya.

Aku sungguh belum mengenal sosok yang sedang aku kagumi ini. Aku sungguh masih buta segala hal tentang dia. Namun rasa itu makin menjadi hingga tiba saat aku bertatap muka secara langsung dengannya. Menjabat tangannya, merasakan kehadirannya yang nyata, mencium aroma tubuhnya dan berdiri sedekat itu dengannya. Untung Tuhan menguatkan aku, sehingga aku tak harus menyia-nyiakan momen ini dengan pingsan.

Andai dia tau,  aku merasakan ini lebih baik dari sekedar mimpi indah :')

Beberapa foto terambil tapi sayang aku harus menangis setelahnya. Semua hasil fotoku dengannya buram sehingga wajah kami sangat tidak terkenali lagi. Aku telah merasa menyia-nyiakan kesempatan. Kini aku hanya mampu melihat punggungnya yang semakin lama semakin tak tampak setelah dia masuk ke dalam bus.

Laga masih terus berlanjut di hari-hari berikutnya. Aku pasti akan datang lagi. Nanti tepat di hari Valentine. Aku telah siapkan sesuatu untuknya. Tapi sekali lagi aku harus mendapati kenyataan yang menyedihkan. Laga NBL seri Solo dengan terpaksa harus dihentikan akibat dampak dari erupsi gunung kelud.

Ku ingin marah melampiaskan, tapi ku hanyalah sendiri disini, ingin ku tunjukkan pada siapa saja yang ada, bahwa hatiku KECEWA....

Semua yang sudah aku persiapkan untuknya kandas, lepas tak bersisa.

Aku harus melewatkan satu lagi kesempatanku untuk bisa lebih dekat lagi dengannya. Dan aku benci ini.

Sampai saat dia kembali lagi ke Jakarta aku tak melihat lagi dia.

Do not walk in front of me, i may not follow.
Do not walk behind me, i may not lead.
Walk beside me, and be mine.

Aku kembali pada kacamata media untuk tau yang terbaru dari kamu. Dan aku sekali lagi harus menerima kalau pada kenyataannya kamu sudah punya pacar. Aku melihat betapa kamu menyukai dia dari segala pujian dan sanjungan yang sering kamu lontarkan untuknnya. Aku cemburu? Itu pasti.....
Tapi aku bisa apa?
Aku hanya sesosok wanita yang sama sekali tak kamu kenal. Bahkan mungkin pertemuan pertama kita yang bagiku sangat sangat mengesankan, kamu sudah melupakannya.
Aku bukan siapa-siapa yang mungkin saja kalau bertemu lagi kau tak akan berminat untuk melihat.

Tapi aku punya rasa yang jujur. Rasa yang bukan karena kamu siapa tapi hanya karena kamu, apapun kamu. Aku punya rasa yang bahkan tak bisa aku sembunyikan. Aku masih memiliki rasa yang dengan setia menunggu waktu yang tepat untukmu melihat ke arahku. Aku masih punya rasa, rasa yang selalu terselamatkan ketika semua meminta aku berhenti. Iya aku masih memilikinya, dan rasa itu....... CINTA.