Rabu, 02 Juli 2014

"Rumah" dan "Pulang"

Aku menemukan apa yang aku cari selama ini di sini. Di tempat yang kadang aku pun bosan untuk pulang.
"Rumah" satu kata yang terkadang ambigu. Banyak tempat yang aku sebut rumah, tapi hanya di sini aku benar-benar mendapatkan "Rumah". Tempat yang dengan susah payah ibu bangun untuk tempat kami semua bernaung. Tempat yang sering aku tinggal pergi saat jengah menuntutku sembunyi. Tapi lelah selalu berhasil membawaku pulang.
Di tempat ini, di rumah ini ku dapati ibuku, keluargaku dan kasih yang tak pernah tampak.
Aku selalu mencoba untuk pungkiri ini tapi aku selalu kalah...

     Di sini aku ingin selalu berada, di tempat yang kadang membuatku bosan. Di sini aku ingin selalu berada, bersama ibu, menemani beliau pada masa tuanya. Tapi kini buliran air mata perlahan meleleh di pipi. Tempat ini, padanya harus aku ucapkan "Sampai bertemu lagi". Demi cita-cita lama ibuku, aku harus mau beranjak dari sini.
Aku tak tau sejauh apa kaki ini bisa melanglah kalau aku hanya berjalan di tempat yang sama. Aku tak tau seperti apa udara di tempat lain kalau aku belum menghirup dan merasakannya sendiri. Aku tak tau aku bisa berusaha dan bertahan hidup sejauh apa kalau aku tak pernah berani berjuang sendiri. Aku tak tau kapan lagi aku punya kesempatan untuk tau semua itu kalau bukan saat ini. Ini bukan ujian, melainkan ini adalah kesempatan yang diberikan Tuhan untuk membuktikan aku mampu atau tidak.
Sesayang inilah Tuhan padaku. Hingga permintaan lamaku terkabul sekarang. Hidup dan berproses pada kondisi dan situasi baru di luar zona nyaman. Aku menyatakan ini dengan "Perjalanan". Aku akan pulang lagi saat Tuhan merasa aku sudah cukup. Dan aku tak pernah sendiri, setiap langkah yang aku ambil, Tuhan selalu bersamaku. Dan atas "Perjalanan" ini Tuhan sudah menyiapkan hal-hal baik di setiap kesempatannya.

Tuhan yang Maha Baik, jaga dan selamatkan setiap langkah yang aku ambil. Jaga dan bahagiakan ibu dan semua orang yang aku sayang di tempat ini. Kali ini aku harus pergi. Ke tempat jauh yang sama sekali tidak pernah ada dalam pikiranku untuk ke sana. Dan iya aku harus ke sana meninggalkan "Rumah" ini dan mencari "Rumah" ku yang baru di sana.
Awalnya tidak akan mudah, awalnya tidak akan nyaman. Tapi waktu akan membantuku berproses. Waktu yang akan menemaniku membuat semuanya jadi terbiasa.
Dan waktu juga yang akan membawaku kembali untuk pulang.
Di rumah ini, rumah yang sebegini beratnya untuk ku tinggal pergi.

Aku akan kembali, tidak akan lama, karena waktu tau bagaimana membantuku.... karena Tuhan tau dimana harus menempatkan aku.... karena setiap tempat punya cerita....dan karena aku yang harus membuat semuanya untuk selalu di nikmati....jadi, inilah waktunya. Tuhan, terima kasih.

Selasa, 03 Juni 2014

Ini tentang tangis ibu siang tadi

" KELUARGAMU ADALAH RUMAHMU "

Aku rindu memeluknya, mengusap kepalanya, dan mencium pipinya. Dia adik lelakiku, usianya 17 tahun kini.
Wataknya yang keras, gak pernah bisa ngomong halus, gampang marah dan kurang bisa tanggung jawab sama apa yang dia punya. Aku gak tau mulai kapan dia jadi seperti ini. Ini sungguh bukan dia, aku masih melihat kepolosan ada padanya walaupun aku sering membentak-bentak karena ulahnya. Dia tidak seperti ini, adik lelaki ku bukan seperti ini. Aku sangat menyayanginya hingga semarah apapun aku padanya, aku masih ingin memeluknya.

Dia tak pernah berhak atas kemarahanku, tidak. Aku tau dia menjadi seperti ini juga bukan karena inginnya, keadaan yang merubah karakternya. Aku tau bahkan sangat amat tau kondisinya.
Maafkan aku sempat membencimu, itu jauh sebelum aku tau apa sebenarnya yang membuatmu menjadi seperti ini.
Malam itu, saat situasi memberi ibu kesempatan untuk menuangkan unek-uneknya padaku, tentang kamu. Rahasia yang lebih dari 17 tahun beliau sembunyikan dari aku, tentang kamu. Aku tak bisa membayangkan begitu beratnya beban ibu menyimpan ini sendirian selama ini. Aku jadi tau sekarang kenapa kamu suka banget sepak bola.  Semua tentang kamu, masa kecilmu, hingga saat kamu masih dalam kandungan.
Ibu ku memang bukan ibu mu, kamu tak pernah lahir dari rahimnya, tapi andai kamu tau, adikku... cinta dan kasih sayang ibu buat kamu melebihi siapapun bahkan bila dibandingkan untukku. Kamu tau siapa ibumu tapi kamu tak benar-benar mengerti siapa yang sebenar-benarnya telah berperan menjadi ibu sekaligus malaikat pelindungmu selama ini.
Kamu tak pernah tau kan, ibu sering menangis karenamu. Bukan, bukan karena mengeluhkan mu, melainkan mengkhawatirkanmu. Kamu tak pernah tau kan bagaimana ibu selalu maju di garis paling depan ketika siapa saja bahkan ketika aku memarahimu. Ibu tak pernah rela siapapun menyakitimu, kamu harus tau itu. Bahkan ibu akan sangat sakit hati ketika ibu mu sendiri memarahi mu, kamu harusnya tau itu. Kamu tau kenapa, karena kamu anak terkecilnya, anak yang bahkan oleh ibu mu sendiri kamu dibiarkan, anak yang oleh seseorang yang kamu sebut dia "Bapak" sama sekali tidak pernah dianggap ada, dan aku sangat membenci suami ibu mu itu.

Adikku kamu tau, betapa sakitnya hatiku setiap kali kamu bentak ibuku. Rasanya ingin aku menamparmu, tapi tak ku lakukan itu karena hanya akan melukai ibu ku lebih dalam lagi. Aku sangat menyayangimu lebih dari yang kamu tau. Jangan pernah percaya saat aku bilang aku tak lagi mau mengurusimu, itu bohong. Karena dalam diamku, aku selalu berbuat untuk kamu. Jangan pernah membenci ku apalagi ibuku ketika kami marah, karena dalam marah itu kami ingin sekali memelukmu. Kamu tau, aku sangat merindukanmu, kamu yang dulu. Kamu ingat masa kecil kamu dulu? Aku selalu ingin dengan mu, menjagamu seperti adik terkecilku, sampai sekarang. Aku tetap ingin menjaga mu tak rela siapapun menyakitimu, bahkan aku akan maju menggantikan ibu jika sesuatu menyulitkanmu.

Aku sungguh ingin memelukmu, berharap kamu tau, kamu tak perlu merasa sendiri, aku dan ibu adalah dua orang yang tak pernah lelah menjagamu. Kamu tak perlu merasa sendiri hingga menjadi seperti ini, karena kamu tak pernah sendiri. Kamu hanya perlu berbalik, dibelakangmu ada aku dan ibu. Maafkan aku dengan segala pikiran burukku tentang mu, maafkan aku jika aku selalu menjadi sosok yang galak dan tak bersahabat padahal aku tau yang kamu butuhkan bukan harta tapi seseorang yang bisa kamu percaya. Jangan bentak-bentak lagi ibuku karena di telapak kakinya akan kamu temukan surgamu. Ini rumahmu, ini bukan nerakamu. Kembalilah. Aku merindukanmu menjadi bagian dari kami lagi. Aku merindukan candamu dan senyummu, aku merindukan kita, kebersamaan kita.

Jangan pernah takut sendirian adikku, ada aku dan ibu. Kami yang akan menjadikan mu seseorang yang lebih baik lagi, bahkan dari kamu yang sebelumnya. Kita hanya butuh saling percaya. Aku sayang kamu.

Kamis, 22 Mei 2014

INGGRIS ITU RINDU, JAUH DI MATA DEKET DI HATI.





Langit sore ini mengantarkan aku pada senja, leburan warna kuning, jingga, merah dan orange membuatnya begitu mempesona. Aku jadi betah berlama-lama duduk di sini, jarang aku bisa menikmati sore sesantai ini, biasanya jam segini, masih ada seabrek pekerjaan menunggu untuk diselesaikan.
Ku seruput pelan segelas besar kopi hitam pahit di sebuah meja kecil dihadapanku, ada aneka snack ringan “Mister Potato” dan laptop juga di sana. Sebuah atlas dunia di pangkuanku, halamannya tepat terbuka di inggris. Beberapa saat yang lalu, baru saja aku menjelma bak guru les privat yang Maha (sok) tahu, ngajarin ponakan yang mau UN mengenal negara Inggris.... negara yang selalu masuk dalam daftar calon tempat ku berjelajah.

INGGRIS.
                Hawa dingin menyambut kedatanganku, 14 oC , angin arah timur laut, dengan kecepatan 6km/h, kelembapan 96%, informasi lengkap yang aku dapat dari smartphoneku tentang cuaca London saat itu. Ini untuk kali pertamanya aku berada di tempat asing yang jauh dari rumah, perjalanan yang cukup jauh untuk orang awam sepertiku. Saat ini aku sedang berada di ibu kota Inggris yang merupakan wilayah metropolitan terbesar di Britania Raya. Aku belum membuat daftar tempat yang ingin aku kunjungi di sini, aku benar-benar buta di tempat seramai ini. Dengan hanya berbekal sedikit informasi yang aku dapat dari google aku bertekad melangkahkan kaki ini dan membawanya berjalan sejauh mungkin.

                Ini hari pertamaku, keluar dari stasiun London underground, aku berjalan menuju London eye yang sering disebut juga dengan The eye. Rancangan yang dibuat oleh David Marks dan Julia Barfield ini mulai dibuka untuk umum sejak maret 2000. Dengan 32 buah kapsul pengamatan tertutup, London eye berputar dengan kecepatan 0,26 meter/detik. Dan untuk satu kali keliling membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Dengan kecepatan seperti itu, London eye tidak perlu berhenti saat penumpang baru akan masuk, kecuali untuk penumpang-penumpang khusus. Bangunan yang berdiri kokoh di atas sungai Themes ini memberikan pemandangan yang luar biasa. Dari ketinggian 135 meter, mata kita disuguhkan pada panorama gedung-gedung bertingkat dan hamparan panjang sungai Themes dengan puluhan kapal hilir mudik pada arusnya. Coba kalau malam hari pasti pemandangan yang tertangkap mata akan jauh lebih dramatis lagi. Lampu-lampu kota, kelap-kelip lampu kapal di sepanjang aliran sungai Themes, pasti akan begitu romantisnya, suasanya impian para pasangan untuk menikmati waktu bersama apalagi, backgroundnya pantulan cahaya dari air sungai Themes, indahnya.

                Menelusuri aliran sungai Themes, langkah mengantarkan aku pada sebuah bangunan yang menjadi salah satu icon kota London, apalagi kalau bukan Tower Bridge. Jembatan yang membentang di atas sungai Themes ini menggabungkan dua desain jembatan, yaitu angkat dan gantung. Jembatan ini terdiri dari dua bangunan menara yang dihubungkan di tingkat atas oleh dua koridor untuk pejalan kaki.  Dari koridor setinggi 42 meter di atas sungai Themes, aku dapat menikmati keindahan kota London dari atas. Di atas sini aku bisa melihat Katedral St. Paul, pusat bisnis dan belanja Canary Wharf dan tempat pertama yang aku kunjungi tadi London Eye. Pemandangan yang luar bisa untuk menutup malam pertamaku di Inggris. Esok hari aku akan melanjutkan perjalanan ke bagian lain dari Inggris, dari orang-orang lokal yang aku temui, aku mendapatkan banyak informasi tentang tempat-tempat menarik di Inggris, sekarang jadi tahu harus kemana kaki ini besok akan aku langkahkan. Uhmmm.... tak sabar rasanya melihat matahari terbit pertamaku di Inggris besok.

                Selamat pagi dari Inggris..... aku masih sesekali menguap pada langkah pertamaku menuju jendela kamar hotel. Ku sibak tirainya satu-satu, kota London di pagi hari sudah menyambutku dengan senyum. Lalu lintas sudah padat, tapi tak terlihat macet sedikitpun, begitu rapi dan tertata. Masih banyak tempat-tempat menarik di kota ini untuk dikunjungi, masih ada Istana Buckingham, Taman Hyde, Big Ben dan masih banyak lagi, tapi hari ini aku sudah memutuskan untuk singgah ke kota lain. Dan kota yang aku pilih untuk aku singgahi kali ini adalah Birmingham. Birmingham adalah kota terbesar kedua di Britania Raya. Di kota itu aku ingin mengunjungi Nation Sea Life Centre. Terowongan bawah air yang sepenuhnya transparan, yang menjadi rumah raksasa bagi para penyu hijau, hiu karang dan ikan-ikan karang tropis. Berjalan pelan diantara binatang-binatang laut, menikmati keindahan terumbu karangnya, ini hampir sama seperti Sea World yang Indonesia punya, hanya saja desain, tata ruang, suasanya dan banyak hal lain yang membuat taman air ini lebih istimewa. Sejak Paskah 2009, di sini telah dibuka atraksi baru yaitu “Sensorama 4-D Cinema”. Kenapa disebut 4-D? Karena selain melihat film 3-D bertemakan laut, penonton dapat mengalami sensasi seperti angin, garam semprot, dan bau rumput laut, atau sensasi lainnya sesuai dengan jalan cerita pada film tersebut. Dan studio film inilah tempat yang paling aku suka dari taman wisata ini.

                Dan ini hari ketigaku di Inggris, setelah dari Nation Sea life Center Birmingham kemarin aku sempat mampir ke National Indoor Arena. Tempat olahraga indoor terbesar dan merupakan tempat hiburan di Eropa. Sedangkan tujuan langkahku hari ini adalah Manchester, nama yang tak asing lagi untuk para penggila bola. Kota yang terletak di kawasan perkotaan Manchester Raya, yang merupakan kawasan perkotaan terbesar ketiga di Britania Raya. Aku sudah berdiri di stasiun kereta Manchester Victoria, aku ingin jalan-jalan bersama Manchester Metrolink hari ini. Suasana stasiun yang sangat berbeda dengan stasiun yang biasa aku temui di Indonesia, begitu tertata, bersih, desainnya bagus, ada haltenya juga diperjalanan. Pun keretanya tak kalah wah, kalau saja Indonesia bisa seperti ini, betapa betahnya aku menggunakan transportasi kereta setiap harinya. Di Manchester ini aku ingin mengunjungi The Opera House dan Museum City art Gallery yang banyak mengupas sejarah romawi. Dan malam harinya aku ingin mengunjungi Canal Street, salah satu pusat hiburan malam di Manchester. Canal Street merupakan bagian dari “Desa Gay”, tempat hiburan di sini banyak memiliki pelanggan-pelanggan gay, bahkan sekarang sudah banyak komunitas gay yang terbentuk di desa ini. Setiap tahun pada bulan Agustus sejak tahun 1991, Canal Street juga menyelenggarakan festival gay populer, Manchester Pride.

                Aku mengenal seorang Geordie di The Opera House Manchester, sebutan akrab bagi penduduk asli Newcastle, namanya Aurora. Darinya aku banyak mendapatkan informasi tempat-tempat istimewa yang wajib dikunjungi apabila bertandang ke Newcastle. Sesaat sebelum pesawat mendarat di bandara Internasional Newcastle, akan ada patung Angel of the North yang berdiri tegak untuk menyambut kedatangan kita. Patung hasil desain Antony Gormley itu adalah salah satu icon kota Newcastle. Dari pusat kota Newcastle, melalui jalan darat menggunakan bus Arriva perjalanan dilanjutkan menuju Alnwick, hanya butuh waktu satu setengah jam untuk sampai sana. Di Alnwick ada salah satu kastil terbesar di dataran kerajaan Inggris, yaitu Kastil Alnwick. Bagi penggemar film Harry Potter pasti sudah tidak asing lagi dengan kastil ini, karena di kastil inilah film itu berlatar belakang. Pemandangan pedesaan dan rumah-rumah tua khas Inggris akan menjadi pemandangan menarik disepanjang perjalanan ke arah kastil. Puas menikmati aroma sejarah dikastil, rasanya otak akan cocok menerima aroma baru yang berbeda, Pantai. Pantai menjadi barang mahal bagi pecinta liburan di Inggris. Tynemouth Longsands, pantai berbukit dengan sensasi pasir kuning. Metro atau kereta lokal menjadi pilihan untuk bisa mencapai tempat ini dari pusat kota. Dari stasiun terdekat di Cullercoats Metro, cukup berjalan kaki 10 menit untuk sampai di pantai. Aroma pantai yang selalu membuat rindu, angin berkejaran satu-satu memainkan ujung hijab yang aku pakai, untung tak sampai menerbangkan topi pantai yang baru saja aku beli. Suasana pantai.... aku jadi rindu Indonesia, alam yang banyak memberiku pantai-pantai indah yang siap untuk setiap saat dinikmati.

                Besok rencananya sebelum kembali ke London, aku ingin singgah dulu di Liverpool. Liverpool terkenal sebagai pusat budaya, di kota inilah lahir grup legendaris dunia “The Beatles”. Bahkan di kota ini telah  dibangun sebuah tempat khusus yang bernama The Beatles story, tempat yang tepat untuk penggemar yang ingin “napak tilas” grup rock paling fenomenal di era 60-an itu. Tapi kalau untuk aku sendiri aku lebih pengen pergi ke Albert Dock, Liverpool waterfront. Komplek yang didesain oleh Jesse Hartley dan Philip Hardwick ini tidak terbuat dari kayu melainkan dari batu bata, batu, dan besi, it was the first non-combustible warehouse system in the world. Setelah dari sana aku ingin mampir sebentar ke Liverpool one mall, serunya cuci mata di mal kota yang bisa aku pastikan bakalan beda banget suasananya sama mal-mal di Indonesia.
Kenapa selama di Inggris gak pernah mampir ke stadion-stadion bola terkenal? Hehehe gak terlalu ngerti bola jadinya kalau ke sana tanpa partner yang cocok bakalan Cuma bisa nge-wah-in bangunannya doang tanpa ngerti lebih banyak lagi.
Balik ke London yuk, baru keinget ada satu tempat yang terlewatkan....
“ Iinnn.....!!!!!!! ” teriakan stereo nyokap menyentakku dari lamunan.
“ Betah banget sih dari tadi ngendon di situ, masuk!!! Gak denger adzan Maghrib? Gak baik tau anak gadis Maghrib-maghrib gini bengong di teras rumah, masukkkk...!!! “
Dan teriakan itu berhasil menyadarkan aku. Yak elah, lha ternyata dari tadi aku Cuma berkhayal doang ya, kirain udah beneran aja ada di Inggris, mendadak sedih... hmmm. Aku mulai mengemasi semua barang-barang yang tercecer di meja, tak lama kemudian aku beringsut dari teras rumah, dari khayalku tentang Inggris. Kota yang indah padahal baru sebatas khayal, bagaimana dengan aslinya, pasti akan lebih luar biasa, karena  masih banyak hal yang tak aku tau tentang Inggris. Benar-benar merasakan udara London, naik Metro keliling kota, menyinggahi banyak bangunan bersejarah, bercengkrama dengan para penduduk lokal, dan menikmati malam di Inggris. Meski sekarang baru sebatas khayal siapa tau besok aku beneran bisa berdiri di sana, diantara para bule itu. Bukannya semua berawal dari mimpi?.
Aku berdiri di dalam kamar, sambil sesekali menyeruput pelan kopi pahit gelas besarku yang kini sudah dingin, dan melahap habis snack “Mister potato” yang tinggal separuh. Entah bermula darimana yang pasti sekarang aku punya mimpi baru, punya rindu baru, berjelajah, dan tujuan jelajahku kali ini tidak lain dan tidak bukan adalah mewujudkan khayalku untuk bisa berpetualang ke Inggris. Inggris tunggu aku...!!!!

AS LONG AS “INGGRIS” - Menapaki dan me-“NYATA”-kan kepulangan.





                Aku bukan seorang Inggris, bukan juga makhluk indo yang berdarah Inggris, sama sekali bukan. Kedua orang tuaku asli indonesia, tepatnya orang jawa, tak ada darah Inggris setetespun yang mengalir dalam tubuhku. Malah kalau dirunut, aku justru bernenek moyang cina dari ibuku. Tapi entah kenpa aku selalu menyebut Inggris dengan “ Pulang “. Impian terbesarku adalah bisa ‘ Pulang “ ke Inggris.

                Setiap malam setelah selesai belajar, aku akan secara otomatis mengambil posisi duduk paling dekat dengan ayah. Seperti tak sabar mendengar semua cerita, yang setiap malamnya selalu bersambung pada bagian yang membuatku  penasaran. Ayah dan Inggris, seperti sepasang sepatu yang selalu berjalan beriringan. Ayahku bukan menteri luar negeri atau seorang saudagar kaya yang sering bertandang ke Inggris, ayahku hanya seorang biasa yang teramat biasa. Beliau hanya seorang sopir angkutan umum, armada yang berhasil beliau beli setelah menguras semua isi tabungan selama puluhan tahun. Itupun juga membeli angkot bekas milik temannya yang telah meninggal. Lantas apa hubungan ayah dengan Inggris?
Saat muda dulu ayah pernah dipaksa untuk ikut ke Inggris oleh seorang pedagang kaya dari Indonesia, ayah masih berumur 15 tahun waktu itu. Ayah bekerja pada orang kaya itu sebagai karyawan di salah satu toko miliknya. Di Inggris ayah berperan sebagai asisten pribadi pedagang kaya itu, jadi kemana pun dia pergi, ayah pasti turut serta bersamanya.

                Ayah bilang disana banyak hal menarik, aku selalu menangkap kilatan kebahagiaan setiap kali ayah mulai bercerita tentang Inggris. Seperti ada rindu yang haus terpenuhi untuk bisa kembali berada di sana. Selama di Inggris ayah banyak menghabiskan waktunya di London. Pada tahun 60-an, di London terjadi suatu fenomena budaya yang berorientasi pada gaya hidup remaja, yang menenkankan pada hal-hal yang sifatnya baru dan modern, dan mereka menggunakan istilah “Swinging London”untuk menyebut fenomena budaya itu. Fenomena ini juga menjadi awal dari revolusi budaya di Inggris sebelum era “Pop” menyebar ke seluruh dunia. Inilah era lahirnya grup-grup musik yang akhirnya mendunia dan masih dikenal hingga sekarang misalnya, The beatles, the rolling stones, the kinks, dan musisi-musisi lainnya yang selanjutnya dikenal di Amerika. Ayah merasa sangat beruntung bisa tinggal di Inggris pada era itu, era pertumbuhan dan perkembangan, ayah biasa menyebutnya begitu.

                Tak hanya dalam bidang musik, pada era yang sama, lahir juga ikon-ikon mode di dunia, hingga muncullah pusat-pusat perbelanjaan seperti Carnaby Street, King’s Road dan Chelsea. Para pemuda di sana, selalu berusaha mengadaptasi life style yang berkembang dengan pola hidup, selera serta kemampuan isi dompet. Ada juga golongan remaja yang dipanggil “Mods”, dari tata rambut dan cara berpakaian, mereka banyak diasosiasikan dengan kelompok yang rasis dan neo nazi, padahal sejatinya mereka sama sekali bukan kaum neo nazi. Ayah yang ketika itu juga memilih gaya rambut botak, sempat disangka seorang mods yang rasisme, untung saja ayah dengan dibantu majikannya, berhasil meyakinkan lembaga setempat tentang asal dan tujuan mereka berada di Inggris, tak luput juga soal kepala botak ayah yang menjadi sumber masalah.

                Ayah berjalan ke sebuah almari yang tak jauh dari tempat duduk kami. Beliau terlihat membolak balik isi lemari dan mengeceknya satu-satu, aku jadi penasaran sebenarnya hal apa yang lebih menarik perhatiannya untuk segera di temukan, daripada meneruskan cerita bersambungnya kepadaku.
“ Seharusnya ada di sini “, aku pendengar suara ayah yang walaupun sepertinya, dia hanya sedang bicara pada dirinya sendiri. Tak lama kemudian ayah kembali duduk bersamaku, ada guratan kecewa di wajah tuanya, sepertinya beliau tidak menemukan apa yang beliau cari.
“ Sebenarnya aku ingin menunjukkan satu foto kepadamu, tapi sepertinya foto itu sudah hilang atau mungkin saja aku lupa menaruhnya, nanti coba aku cari lagi. “
Jelasnya kepadaku, aku jadi semakin penasaran foto apa sebenarnya yang ingin ayah tunjukkan padaku, sepertinya sesuatu yang penting, sehingga membuatnya begitu kecewa ketika foto itu tidak ditemukan.
Setelah berdehem sebentar, lantas ayah melanjutkan ceritanya. Di London, ada satu ikon yang terkenal hingga sekarang, Jembatan Menara atau lebih dikenal dengan Tower Bridge. Jembatan itu membentang di atas sungai themes, sungai yang paling terkenal di Inggris. Tidak hanya kendaraan yang melintas bebas di atas jembatan ini, tapi jembatan ini dilengkapi dengan dua koridor untuk pejalan kaki, dari ketinggian sekitar 42 meter para pejalan kaki bisa menikmati keindahan kota London dari atas. Ayah sering memilih jalan-jalan ke sana ketika sedang bepergian sendiri. Ayah suka berlama-lama di sana, melihat lampu-lampu kota, melihat kapal-kapal yang melintas, bahkan di sana juga, ayah memilih tempat untuk menikmati langit dan kerinduan. Dan ternyata sesuatu yang tadi ayah cari adalah foto saat beliau sedang berada di Tower Bridge pada suatu senja, bersama Liora seorang Inggris yang beliau kenal di sana. Itu adalah satu-satunya foto ayah di Inggris, bukti akurat keberadaan ayah di sana pada waktu itu. Aku jadi ikut menyesal kenapa foto itu menghilang, foto itu pasti salah satu barang paling berharga untuk ayah.
“ Kalau kamu sudah punya banyak uang nanti, bawa ayah kembali ke inggris ya, banyak kenangan yang tertinggal di sana, dan ayah akan tunjukan semua tempat yang ayah pernah ceritakan kepadamu.”
“ Dan kita akan foto berdua di Tower Bridge ya yah, siapa tau kita bisa bertemu Liora di sana “ celotehku asal menanggapi kaliamt panjang ayah. Ayah mengusap rambutku pelan sembari terkekeh. Ada janji yang sengaja aku buat dalam celotehku, janji pada ayah untuk menemaninya “Pulang”.

                Ada kerinduan yang teramat sangat di pancaran mata ayah saat menceritakan Tower Bridge. Sepertinya ada kenangan mendalam yang tertutup rapat untuk ayah sendiri. Ayah menceritakan begitu banyak hal tentang Inggris, tentang penduduknya yang kala itu sangat sensitif dengan sedikit saja perubahan. Kondisi keamanan yang belum stabil, apalagi masih musim pengeboman kala itu. Kota tua dan bangunan sejarah yang pernah ayah kunjungi selama di sana, mulai dari museum, kastil sampai lapangan olahraga, dan piala dunianya. Setiap gugusan cerita yang ayah sampaikan, menjelma bak hipnotis di kupingku. Setiap alur cerita yang mencoba ayah bangun, membuat aku merasa sedang berada di dalamnya, ikut merasakan apa yang sedang ayah rasakan saat itu. Hampir satu tahun ayah tinggal di Inggris, banyak orang yang tadinya asing, berubah menjadi kawan hidup. Jatuh bangun ayah rasakan di sana, mulai yang menjadi tahan seminggu pemerintahan Inggris karena kepala “botak”nya, sampai yang tinggal di sebuah rumah orang lokal karena tersesat dan kehabisan uang saat mengambil pesanan barang milik majikannya. Ayah selalu menceritakan kepadaku setiap detail yang beliau ingat, hanya satu yang beliau tak pernah bahas, meski aku pernah menanyakannya, Liora. Siapa Liora?

                Ayah meninggal sebelum aku memenuhi janjiku untuk  membawanya kembali  “pulang”. Ini akan menjadi sebuah ziarah hati ketika suatu hari nanti aku bisa ke sana. Melihat kembali apa yang pernah ayah lihat, dengan situasi yang berbeda, tidak semencekam dulu tentunya. Akan aku bawa sebuah kamera yang akan aku gunakan untuk berfoto ketika nanti aku berada di Tower Bridge, tempat kesukaan ayah. Aku yakin ayah tidak akan pernah menganggap celotehku waktu itu sebagai janji, tapi kalimat itu adalah satu janji untuk diriku sendiri. Aku ingin memunguti remah-remah kerinduan ayah yang tertinggal, menapaki sisa-sisa guratan tapak kakinya. Aku masih menyebut Inggris dengan suatu kepulangan, sampai suatu saat nanti aku benar-benar bisa pulang kembali ke sana, untuk ayah.



Rabu, 02 April 2014

Sobekan pesan untukmu pelangi - Part 2

     " Setiap pantulannya berwarna, apa aku sedang melihat pelangi? "

     Aku masih dengan kostum abu-abuku, tak ku punya warna lain, selain ini. Tas ransel di punggungku dan sebuah jaket tebal mendekapku. Sejak aku memutuskan untuk resign dari tempat kerja lama ku, ada misi yang ingin aku selesaikan.
Pijakan pertama di Kota ini, biasanya aku ke sini untuk kamu tapi tidak untuk kali ini. Sebatang lollypop stabil keluar masuk mulut, beberapa kali aku menyeka keringat yang mulai membanjir. Dari kejauhan kulihat sosok mungil berambut panjang, tangannya melambai sejalan dengan langkahnya yang panjang. Itu dia yang aku tunggu, partner yang aku pilih untuk hari ini, namanya Danes....(bersambung)

Senin, 31 Maret 2014

SURAT UNTUK MANTAN

"tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel bernard batubara"



" Kita pernah terguyur hujan bersama. Kita juga selalu bersama di terik siang. Kita tak pernah lupa berbagi tawa. Kita juga tak segan menangis bersama. Semua kita pernah lewati bersama, saat kata "KITA" masih mewakili aku dan kamu."

     Dear You,

     Aku berdiri di sini, di kota ini dan di tempat ini, dimana untuk kali pertama aku melihatmu. Dari jauh, dan hanya dari jauh aku selalu mengagumi senyummu, tawamu dan suara lembutmu. Di sini, di tempat aku berdiri sekarang, aku masih ingat itu, aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertamaku. Genggaman tanganmu begitu erat, seakan tak mau lepas. Tatapan matamu tajam, seolah tak membiarkan aku sedetik saja lepas dari penglihatanmu. Aku di sini, berdiri di tempat ini mengingatmu...yang selalu mendekap saat aku rapuh. Merengkuh saat aku jatuh, dan kamu...kamu yang memberi warna pada duniaku. Setiap hari ada senyum itu, tapi itu dulu...sebelum hari dimana aku berdiri sekarang. Dan aku, masih berdiri di sini, tak ada lagi sosok itu dan tak ku temukan lagi senyum itu. Di tempat ini aku masih berdiri, ingin aku beranjak tapi ku tak mampu. Aku masih ingin senyum itu, tapi semua terlalu sadis untuk membiarkan aku menangis. Dan aku masih di sini, menunggu waktu kau temukan aku. 

     MAS, siang ini aku duduk di tempat biasa kita berbagi cerita. Hari ini tidak terlalu ramai, suasananya tenang, satu kondisi yang kamu sukai. Aku selalu menyempatkan waktu ke sini, terlebih saat aku merindukanmu. Kamu ingat terakhir kita liburan bersama? Dalam satu hari kita berpindah 4 kota. Itu perjalanan terpanjang kita yang pertama, perjalanan yang berakhir di Kota Jogja. 
Aku masih hafal wangi ombak pagi itu, seberapa kencang angin yang memain-mainkan ujung hijabku. Kita ada di belahan bumi yang sama, kita duduk di tempat yang sama. Kita ada dalam situasi yang sama dan kita melihat awan yang sama, tapi bodohnya aku, aku tak pernah tau kalau ternyata kita sudah menggambarkan bentuk awan yang berbeda.

     Kamu berdiri tepat dibelakangku, bila saja aku memejamkan mata ini sekarang, aku masih bisa merasakan pelukanmu. Tanpa kata, tanpa tanya, kita memilih untuk membisu, hanya tatapan mata kita yang jauh sesekali mendapati obyek yang sama. Aku merasakan hembusan nafasmu satu-satu, hangatnya menjalar hingga semua kalimat tanya yang siap keluar dari mulutku seakan hilang bersama setiap hembusan itu. Lama kita mematung, aku mulai merasakan pelukanmu mulai mengendur, perlahan, pelan hingga ada satu langkah mundur, langkah itu terus bertambah, langkah itu mulai panjang dan menjauh. Kamu memutuskan pergi, tanpa kalimat dan tanpa koma, kamu langsung memilih titik untuk mengakhiri ini.

     Kamu tak ada kini, meninggalkan aku dengan begitu banyak kalimat tanya. Aku tak tau kenapa tanpa sepakat kamu merubah "Kita" kembali menjadi aku dan kamu. Kita baik-baik saja selama ini, bahkan terlalu baik hingga saat kau mulai hilang, datang dan pergi sesuka hati aku selalu dan masih menunggumu kembali. MAS, tau kah kamu apa artinyanya kamu buat aku? Kamu adalah warna. Yang menjadikan hitam dan putihku tak lagi berkuasa. Kamu menjadikan birunya langit sebagai penghapus sedihku. Kamu kenalkan aku pada Tuhan dari damainya hijau. Kamu ajarkan aku berani menghadapi semua segarang merah. Kamu melarangku sombong, kamu teladanku berendah hati seputih jiwa. Sinar terang matahari kamu jadikan semangatku dalam kuning. Jinggamu kau bawa pada indahmya cakrawala. Aku mulai menghargai perbedaan setelah mengenal lebih dekat damainya merah dan biru menjadi satu berwujud ungu. Kamu adalah warnaku, kamu serupa apapun yang aku mau. Bersamamu, aku tak perlu menjadi kamu untuk mengerti kamu pun kamu, tak perlu menjadi aku untuk mengerti aku, aku dan kamu hanya perlu menjadi "Kita" tanpa harus menggunakan koma.

     Tapi kini, warnaku menjadi abu-abu, tak ada lagi kamu. Ragamu sudah tak lagi tersentuh, bayangmu semburat kabut, namun aku tau keberadaanmu selalu ada. Jauhmu membuat mataku tak mampu menjangkau, tapi kamu perlu tau, doaku selalu tersampaikan walau dimanapun kamu berada. 
MAS, kenapa kamu memilih untuk meninggalkan "Kita"?
Kalimat tanya yang tak pernah ku dapati jawabannya. Kita masih punya rasa yang sama, kita masih saling melihat dalam kaca mata media tapi kita terlalu sombong, kita terlalu angkuh untuk merangkul ego. 
Kamu tau, seperti apapun kamu, aku tak bisa membencimu...karna rasaku masih lebih kuat dari benci itu. Aku bertahan dalam titik yang bagiku hanya koma, karena aku tau, setiap rasa pasti akan mendapati takdirnya, semua tinggal menunggu waktu, itulah mengapa tercipta sebuah jeda. Dan jika kamu adalah takdirku, maka tunjukkan aku jalan kembali kepadamu....



Sherina - Simfoni Hitam

Malam sunyi kuimpikanmu
Kulukiskan kita bersama
Namun s'lalu aku bertanya
Adakah aku di mimpimu

Di hatiku terukir namamu
Cinta rindu beradu satu
Namun s'lalu aku bertanya
Adakah aku di hatimu

T'lah kunyanyikan alunan-alunan senduku
T'lah kubisikkan cerita-cerita gelapku
T'lah kuabaikan mimpi-mimpi dan ambisiku
Tapi mengapa ku takkan bisa sentuh hatimu

Bila saja kau di sisiku
'Kan ku beri kau segalanya
Namun tak henti aku bertanya
Adakah aku di rindumu

Tak bisakah kau sedikit saja dengar aku
Dengar simfoniku
Simfoni hanya untukmu....



Jumat, 28 Maret 2014

Sobekan pesan untukmu Pelangi - Part 1

          " Aku kehilangan warna, seakan aku buta warna, karena sekarang aku hanya mampu melihat abu-abu "

     Masih ada sisa sembab di mataku. Pukulan tangis semalam, menyisakan bekas yang seolah memberi kesempatan pada setiap orang untuk tau kondisiku. Aku berjalan menunduk, mencoba meminimalkan pandangan orang kepadaku. 
Terbayang ulang di tempat itu beberapa waktu lalu. Ketika dengan penuh harap aku bersabar menunggu. Sebuah bus kota yang padat memindahkan aku dari pelataran kantor baruku kesebuah tempat ramai yang asing. Aku terhenti pada sebuah halte tak berpenghuni. Tepat dibelakangku, sebuah bangunan megah terlihat begitu sibuk. Aku mengambil sebuah sudut dibawah jembatan penyeberangan. Tak banyak orang disana hanya ada aku dan seorang wanita berpakaian modis sedang bermain-main dengan handphonenya, sesekali aku melihatnya tertawa. Aku duduk berjarak satu bangku darinya. Disini terlalu remang, tak banyak orang berminat untuk mengambil duduk disekitar kami, tapi aku justru merasa lebih baik disini.

     Aku teringat kembali akan gundahku, cepat aku ambil handphone dari dalam tas kuningku. Kembali aku mencoba mendial nomor yang sudah kesekian kalinya tak merespon. Aku hampir menyerah, puluhan pesan yang aku kirim tak satupun terbalas. Begitu juga panggilanku, tak sekalipun terjawab. Aku benar-benar lelah, kulepas sepatu kerja 10cm itu. Ku dapati beberapa lecet di kaki ku, mungkin karena sepatu ini yang baru, atau karena aku terlalu banyak berjalan hari ini? Entahlah...
Aku sangat haus dan baru tersadar bahwa sedari pagi tadi aku belum makan.
" Kamu tenang ya, disini ada aku. Kamu butuh apapun dan kapanpun, kamu tinggal bilang aku. Hari ini aku free dan aku siap melayani kamu."
Kalimat itu kembali terngiang di otakku. Kamu yang menjanjikannya, aku tak pernah meminta, dan bila sekarang aku berharap kamu memenuhinya, apa itu terlalu tinggi?. Kembali sebuah pesan aku kirim kepadanya, berharap kali ini kamu membalasnya. 

     Aku sungguh tidak sedang manja, seandainya saja aku hafal tempat-tempat disini, atau setidaknya aku tau aku harus kemana mungkin aku tidak akan sepanik ini. Di kota besar ini aku sangat asing. Baru beberapa kali aku kesini, itupun hanya ke satu tempat pasti dan tak singgah kemanapun lagi. Malam semakin larut, udara yang seakan panas menyisipkan dingin yang membuat kudukku meremang. Aku tak bisa pulang ke rumah sekarang karena besok pagi harus ada yang aku selesaikan di kantor. Rumahku dengan kota ini sejauh 5 jam perjalanan itu kenapa aku harus tetap tinggal disini malam ini. Tapi masalahnya aku tak mengenal siapapun disini, kecuali dia. Dia, dia yang sekarang entah dimana. Mungkin saja dia lupa bahwa pagi tadi dia telah berjanji untuk menjaga orang asing ini.

     Kalau saja aku hilang kesadaran, kupastikan aku sudah berteriak kesal dan menangis histeris. Tapi sayang, aku masih cukup sadar.
Seandainya di tau...ada banyak cerita yang ingin aku sampaikan kepadanya. Ah...sudahlah mungkin saja dia benar-benar lupa.
Aku bangkit, kupakai kembali sepatu yang menyisakan lecet pada kedua kakiku. Aku mulai berjalan, rok panjang yang aku pakai mulai terlihat kumal. Sedikit tertatih, aku merasakan perih yang teramat. Langkah ku satu-satu terayun tanpa arah pasti. Ku pandangi sekitarku, tak ada lengang disini tapi aku begitu sendiri. Beberapa menit yang lalu, sebuah pesan dari ibu masuk di inbox ku. Ku wartakan kepada beliau betapa bahagianya aku disini, tempat tinggal yang nyaman dan makanan yang enak. Cukup untuk membuat beliau tidak khawatir, meskipun apa yang terjadi padaku sekarang masih belum pasti.

     Langkahku semakin jauh, tapi semakin tak berarah. Sisa uang di dompetku tak memberiku peluang untuk asal memilih hotel, aku harus tau diri. Berjajar hotel-hotel mewah hanya mampu aku pandangi sambil berlalu. Aku sangat lelah, aku hanya ingin tidur, merebahkan penat ini.
Sebuah teriakan memaksaku berhenti. Seorang cowok bermata sipit melambaikan tangannya. Aku mematung, memastikan apa benar lambaian itu untukku. Seakan tak sabar akan responku, dia parkir motornya ditepi jalan, dan dengan sedikit berlari dia ke arahku. Remang ini masih membuatku membisu. Dia tidak terlalu tinggi, kulitnya putih dan banyak bekas jerawat di pipinya. 
" Hei...mau kemana?"
Sapanya, setelah berhenti tepat didepanku. Astaga, iya sekarang aku mengenalnya, Aul...mantan partner kerjaku dulu. 
" Aul...." sedikit berteriak aku memastikan itu benar dia. Anggukan kepalanya seperti angin segar buatku, langsung kupeluk tubuh bantatnya. Rasa lega menjumpai orang yang dikenal di tempat asing itu, seperti orang puasa yang mendapati adzan maghribnya. Masih tak percaya kupandangi sekali lagi wajahnya, dan benar saja memang wajah Aul yang dihadapanku sekarang.
" Aku pikir tadi aku salah lihat, ternyata ini memang bener kamu." Suaranya renyah, raut wajahnya begitu bersahabat.
" Mau kemana malam-malam begini, disekitar sini?" 
Aku tak langsung menjawab, seperti cermin aku mengikuti gerakan kepalanya yang celingukan melihat-lihat sekitaran kami. Lama tak mendapati jawaban dia meneruskan kalimat tanyanya.
" kamu sendirian?"
Aku mengangguk, dan pelan aku mulai menceritakan perihal adanya aku disana. Dia menggenggam erat tanganku, mungkin saja itu caranya untuk menenangkan aku.
Sesaat setelah ceritaku berakhir dia menggandeng tanganku menuju motornya yang dia parkir sembarangan.
" Ada aku sekarang, aku yang akan membantumu, jangan sedih lagi ya." Senyumnya membuat aku merasa sangat lega.
Deritan motor bututnya mengantar aku menyusuri malam di kota ini. Aku sama sekali tak bisa merasakan indahnya lampu-lampu kota ini. Otak tak semudah itu menerima. Lama kami berada diantara kendaraan lain yang saling beradu suara. Sampai akhirnya motor dia hentikan di depan sebuah bangunan yang biasa saja dan jauh dari kata istimewa. Gerakan matanya mengisyaratkan kepadaku untuk mengikuti langkahnya. Aku menurut, dibelakangnya aku berjalan memasuki tempat itu. Ini hotel? Tanyaku dalam hati ketika pintu mulai terbuka. Hanya ada sebuah meja setengah lingkaran dan seorang lelaki berkaos putih berdiri disana. Dari kejauhan aku melihat Aul yang sedang berbicara pada, hmmm mungkin saja dia harus aku sebut resepsionis. Aku mendekat dengan ragu, ada sebuah kunci yang kini beralih tempat ke tangan Aul.
" You are a lucky girl, i get the room for you my sista." Sapanya setelah aku berdiri disampingnya. Sumringah aku menanggapi celotehnya, dengan cepat aku selesaikan pembayaran, aku hanya ingin cepat masuk kamar dan tidur. Aku hanya ingin lupa semua hal yang terjadi padaku hari ini.
" Dan tidurlah, aku tau kau lelah. Besok pagi sekali aku akan kesini, akan ku bawakan kau baju ganti, karna aku tau tak ada baju ganti dalam tas mu itu." Ujarnya setelah menaruh tasku di meja dekat televisi.
" Aku akan pulang sekarang, sebaiknya kau rawat lecet di kaki mu itu kak, pasti itu perih sekali. Okay selamat malam, sampai ketemu besok ya." Seakan tak menunggu jawabku, dia langsung menutup pintu itu dan pergi.

     Punggungnya tak lagi terlihat. Ku rebahkan tubuhku di kasur. Rasa lelah ini tak membuatku ingin pergi mandi. Aku sungguh hanya ingin menenggelamkan otakku di bawah bantal. Warna-warna dunia yang begitu indah seketika lenyap bersama tak hadirnya kini. Satu-satu air mata ku jatuh, aku tenggelam dalam dalam ingatanku pagi tadi, ketika untuk kali pertamanya aku melihat sosok yang begitu dan selalu teristimewa di hati. Senyumnya dan hangat sapanya membuat tangisku makin menjadi. Kami banyak bertukar tawa sepanjang perjalanan tadi. Dia menungguiku dengan setia sampai aku menyelesaikan satu kerjaanku. Pun saat jam makan siang tadi, dia mengajakku ke satu mall yang sebelumnya sekalipun aku belum pernah kesana. Kami berjalan beriringan, dia terus menggenggam tangan ku seolah tak ingin sedetik saja melewatkan waktu tanpa hadirnya aku. Aku sungguh merindukan pria ini, aku sangat menyayanginya. Dan siang itu, kami sempatkan menonton film, satu kegiatan yang dulu, dulu sekali sering kami lakukan bersama. 
Dia adalah warnaku, akan tak akan merasa jadi indah tanpanya, dan aku tak akan pernah bisa sempurna tanpa hadirnya, meski aku tau sekarang aku dan dia sudah tidak menjadi kita. Lama sudah kata "Kita" hilang dari hubungan kami. Tapi aku yakin tanpa kata "Kita", kami masih saling memiliki rasa yang sama, rasa yang selalu ada.

     Duniaku terasa hambar, ku edarkan pandanganku menyapu seluruh ruangan. Tak ada warna lain yang tertangkap mata kecuali hanya ada abu-abu. Aku kedipkan beberapa kali mataku berharap penglihatanku bisa kembali normal, nihil...aku tetap tak menemukan warna lain. Tangis ku kian menjadi, warna-warna itu sirna bersama raibnya dia.
Sehebat itukan dia? Menenggelamkan aku pada dasar abu-abu, kudukku meremang kembali aku begitu merasa ketakutan. Aku ingin menemukan warnaku tapi semua hal yang tertangkap mata tak mengeluarkan warna lain kecuali abu-abu. Selang satu jam aku masih mematung diantara tembok dan bantal yang kudekap. Handphone ku berdering, ada sebuah pesan masuk yang siap untuk dibuka. Ragu, tidak bukan ragu tapi cukup malas untuk membuka, tapi tetap ku raih handphone itu.
Sebuah pesan yang berisi : " Aku ketiduran.", tanpa ada kata maaf dan pertanyaan dimana dan bagaimana keadaan kamu sekarang. Dia pengirim pesan itu, balasan yang sedari tadi aku tunggu justru sekarang aku tak berminat untuk membalasnya. Ku usap sisa air mata di pipi ku. Ku kembalikan handphone itu ke tempat semula, ku ambil bantal yang hanya berjarak sejangkauan saja dariku. Ku tenggelamkan seluruh mukaku di bawahnya, aku tak ingin melihat apa-apa lagi, aku hanya ingin tidur dan lupa. Balasan yang aku tunggu telah aku dapat, tapi tak selayaknya diperjuangkan. Warnaku terlanjur abu-abu, dunia seakan mengambilnya dariku. Aku tidak akan memprotes itu, aku akan berproses saja pada perubahan ini. 

Dan malam itu adalah malam terakhir aku menerima pesannya. Itu terjadi beberapa waktu yang lalu. Tapi prosesnya masih tersisa hingga saat aku mengeluh akan sembabnya mata ini. Tuhan telah mengganti warnaku dengan perginya kamu, rasa kecewa ini memang tak begitu kuat untuk mengalakan rasa yang ada, tapi kamu yang pergi, kamu yang memunggungiku jadi salahkah aku bila sekarang aku memilih abu-abu ini, hingga nanti Pelangi akan menghujani ku lagi?