" Aku kehilangan warna, seakan aku buta warna, karena sekarang aku hanya mampu melihat abu-abu "
Masih ada sisa sembab di mataku. Pukulan tangis semalam, menyisakan bekas yang seolah memberi kesempatan pada setiap orang untuk tau kondisiku. Aku berjalan menunduk, mencoba meminimalkan pandangan orang kepadaku.
Terbayang ulang di tempat itu beberapa waktu lalu. Ketika dengan penuh harap aku bersabar menunggu. Sebuah bus kota yang padat memindahkan aku dari pelataran kantor baruku kesebuah tempat ramai yang asing. Aku terhenti pada sebuah halte tak berpenghuni. Tepat dibelakangku, sebuah bangunan megah terlihat begitu sibuk. Aku mengambil sebuah sudut dibawah jembatan penyeberangan. Tak banyak orang disana hanya ada aku dan seorang wanita berpakaian modis sedang bermain-main dengan handphonenya, sesekali aku melihatnya tertawa. Aku duduk berjarak satu bangku darinya. Disini terlalu remang, tak banyak orang berminat untuk mengambil duduk disekitar kami, tapi aku justru merasa lebih baik disini.
Aku teringat kembali akan gundahku, cepat aku ambil handphone dari dalam tas kuningku. Kembali aku mencoba mendial nomor yang sudah kesekian kalinya tak merespon. Aku hampir menyerah, puluhan pesan yang aku kirim tak satupun terbalas. Begitu juga panggilanku, tak sekalipun terjawab. Aku benar-benar lelah, kulepas sepatu kerja 10cm itu. Ku dapati beberapa lecet di kaki ku, mungkin karena sepatu ini yang baru, atau karena aku terlalu banyak berjalan hari ini? Entahlah...
Aku sangat haus dan baru tersadar bahwa sedari pagi tadi aku belum makan.
" Kamu tenang ya, disini ada aku. Kamu butuh apapun dan kapanpun, kamu tinggal bilang aku. Hari ini aku free dan aku siap melayani kamu."
Kalimat itu kembali terngiang di otakku. Kamu yang menjanjikannya, aku tak pernah meminta, dan bila sekarang aku berharap kamu memenuhinya, apa itu terlalu tinggi?. Kembali sebuah pesan aku kirim kepadanya, berharap kali ini kamu membalasnya.
Aku sungguh tidak sedang manja, seandainya saja aku hafal tempat-tempat disini, atau setidaknya aku tau aku harus kemana mungkin aku tidak akan sepanik ini. Di kota besar ini aku sangat asing. Baru beberapa kali aku kesini, itupun hanya ke satu tempat pasti dan tak singgah kemanapun lagi. Malam semakin larut, udara yang seakan panas menyisipkan dingin yang membuat kudukku meremang. Aku tak bisa pulang ke rumah sekarang karena besok pagi harus ada yang aku selesaikan di kantor. Rumahku dengan kota ini sejauh 5 jam perjalanan itu kenapa aku harus tetap tinggal disini malam ini. Tapi masalahnya aku tak mengenal siapapun disini, kecuali dia. Dia, dia yang sekarang entah dimana. Mungkin saja dia lupa bahwa pagi tadi dia telah berjanji untuk menjaga orang asing ini.
Kalau saja aku hilang kesadaran, kupastikan aku sudah berteriak kesal dan menangis histeris. Tapi sayang, aku masih cukup sadar.
Seandainya di tau...ada banyak cerita yang ingin aku sampaikan kepadanya. Ah...sudahlah mungkin saja dia benar-benar lupa.
Aku bangkit, kupakai kembali sepatu yang menyisakan lecet pada kedua kakiku. Aku mulai berjalan, rok panjang yang aku pakai mulai terlihat kumal. Sedikit tertatih, aku merasakan perih yang teramat. Langkah ku satu-satu terayun tanpa arah pasti. Ku pandangi sekitarku, tak ada lengang disini tapi aku begitu sendiri. Beberapa menit yang lalu, sebuah pesan dari ibu masuk di inbox ku. Ku wartakan kepada beliau betapa bahagianya aku disini, tempat tinggal yang nyaman dan makanan yang enak. Cukup untuk membuat beliau tidak khawatir, meskipun apa yang terjadi padaku sekarang masih belum pasti.
Langkahku semakin jauh, tapi semakin tak berarah. Sisa uang di dompetku tak memberiku peluang untuk asal memilih hotel, aku harus tau diri. Berjajar hotel-hotel mewah hanya mampu aku pandangi sambil berlalu. Aku sangat lelah, aku hanya ingin tidur, merebahkan penat ini.
Sebuah teriakan memaksaku berhenti. Seorang cowok bermata sipit melambaikan tangannya. Aku mematung, memastikan apa benar lambaian itu untukku. Seakan tak sabar akan responku, dia parkir motornya ditepi jalan, dan dengan sedikit berlari dia ke arahku. Remang ini masih membuatku membisu. Dia tidak terlalu tinggi, kulitnya putih dan banyak bekas jerawat di pipinya.
" Hei...mau kemana?"
Sapanya, setelah berhenti tepat didepanku. Astaga, iya sekarang aku mengenalnya, Aul...mantan partner kerjaku dulu.
" Aul...." sedikit berteriak aku memastikan itu benar dia. Anggukan kepalanya seperti angin segar buatku, langsung kupeluk tubuh bantatnya. Rasa lega menjumpai orang yang dikenal di tempat asing itu, seperti orang puasa yang mendapati adzan maghribnya. Masih tak percaya kupandangi sekali lagi wajahnya, dan benar saja memang wajah Aul yang dihadapanku sekarang.
" Aku pikir tadi aku salah lihat, ternyata ini memang bener kamu." Suaranya renyah, raut wajahnya begitu bersahabat.
" Mau kemana malam-malam begini, disekitar sini?"
Aku tak langsung menjawab, seperti cermin aku mengikuti gerakan kepalanya yang celingukan melihat-lihat sekitaran kami. Lama tak mendapati jawaban dia meneruskan kalimat tanyanya.
" kamu sendirian?"
Aku mengangguk, dan pelan aku mulai menceritakan perihal adanya aku disana. Dia menggenggam erat tanganku, mungkin saja itu caranya untuk menenangkan aku.
Sesaat setelah ceritaku berakhir dia menggandeng tanganku menuju motornya yang dia parkir sembarangan.
" Ada aku sekarang, aku yang akan membantumu, jangan sedih lagi ya." Senyumnya membuat aku merasa sangat lega.
Deritan motor bututnya mengantar aku menyusuri malam di kota ini. Aku sama sekali tak bisa merasakan indahnya lampu-lampu kota ini. Otak tak semudah itu menerima. Lama kami berada diantara kendaraan lain yang saling beradu suara. Sampai akhirnya motor dia hentikan di depan sebuah bangunan yang biasa saja dan jauh dari kata istimewa. Gerakan matanya mengisyaratkan kepadaku untuk mengikuti langkahnya. Aku menurut, dibelakangnya aku berjalan memasuki tempat itu. Ini hotel? Tanyaku dalam hati ketika pintu mulai terbuka. Hanya ada sebuah meja setengah lingkaran dan seorang lelaki berkaos putih berdiri disana. Dari kejauhan aku melihat Aul yang sedang berbicara pada, hmmm mungkin saja dia harus aku sebut resepsionis. Aku mendekat dengan ragu, ada sebuah kunci yang kini beralih tempat ke tangan Aul.
" You are a lucky girl, i get the room for you my sista." Sapanya setelah aku berdiri disampingnya. Sumringah aku menanggapi celotehnya, dengan cepat aku selesaikan pembayaran, aku hanya ingin cepat masuk kamar dan tidur. Aku hanya ingin lupa semua hal yang terjadi padaku hari ini.
" Dan tidurlah, aku tau kau lelah. Besok pagi sekali aku akan kesini, akan ku bawakan kau baju ganti, karna aku tau tak ada baju ganti dalam tas mu itu." Ujarnya setelah menaruh tasku di meja dekat televisi.
" Aku akan pulang sekarang, sebaiknya kau rawat lecet di kaki mu itu kak, pasti itu perih sekali. Okay selamat malam, sampai ketemu besok ya." Seakan tak menunggu jawabku, dia langsung menutup pintu itu dan pergi.
Punggungnya tak lagi terlihat. Ku rebahkan tubuhku di kasur. Rasa lelah ini tak membuatku ingin pergi mandi. Aku sungguh hanya ingin menenggelamkan otakku di bawah bantal. Warna-warna dunia yang begitu indah seketika lenyap bersama tak hadirnya kini. Satu-satu air mata ku jatuh, aku tenggelam dalam dalam ingatanku pagi tadi, ketika untuk kali pertamanya aku melihat sosok yang begitu dan selalu teristimewa di hati. Senyumnya dan hangat sapanya membuat tangisku makin menjadi. Kami banyak bertukar tawa sepanjang perjalanan tadi. Dia menungguiku dengan setia sampai aku menyelesaikan satu kerjaanku. Pun saat jam makan siang tadi, dia mengajakku ke satu mall yang sebelumnya sekalipun aku belum pernah kesana. Kami berjalan beriringan, dia terus menggenggam tangan ku seolah tak ingin sedetik saja melewatkan waktu tanpa hadirnya aku. Aku sungguh merindukan pria ini, aku sangat menyayanginya. Dan siang itu, kami sempatkan menonton film, satu kegiatan yang dulu, dulu sekali sering kami lakukan bersama.
Dia adalah warnaku, akan tak akan merasa jadi indah tanpanya, dan aku tak akan pernah bisa sempurna tanpa hadirnya, meski aku tau sekarang aku dan dia sudah tidak menjadi kita. Lama sudah kata "Kita" hilang dari hubungan kami. Tapi aku yakin tanpa kata "Kita", kami masih saling memiliki rasa yang sama, rasa yang selalu ada.
Duniaku terasa hambar, ku edarkan pandanganku menyapu seluruh ruangan. Tak ada warna lain yang tertangkap mata kecuali hanya ada abu-abu. Aku kedipkan beberapa kali mataku berharap penglihatanku bisa kembali normal, nihil...aku tetap tak menemukan warna lain. Tangis ku kian menjadi, warna-warna itu sirna bersama raibnya dia.
Sehebat itukan dia? Menenggelamkan aku pada dasar abu-abu, kudukku meremang kembali aku begitu merasa ketakutan. Aku ingin menemukan warnaku tapi semua hal yang tertangkap mata tak mengeluarkan warna lain kecuali abu-abu. Selang satu jam aku masih mematung diantara tembok dan bantal yang kudekap. Handphone ku berdering, ada sebuah pesan masuk yang siap untuk dibuka. Ragu, tidak bukan ragu tapi cukup malas untuk membuka, tapi tetap ku raih handphone itu.
Sebuah pesan yang berisi : " Aku ketiduran.", tanpa ada kata maaf dan pertanyaan dimana dan bagaimana keadaan kamu sekarang. Dia pengirim pesan itu, balasan yang sedari tadi aku tunggu justru sekarang aku tak berminat untuk membalasnya. Ku usap sisa air mata di pipi ku. Ku kembalikan handphone itu ke tempat semula, ku ambil bantal yang hanya berjarak sejangkauan saja dariku. Ku tenggelamkan seluruh mukaku di bawahnya, aku tak ingin melihat apa-apa lagi, aku hanya ingin tidur dan lupa. Balasan yang aku tunggu telah aku dapat, tapi tak selayaknya diperjuangkan. Warnaku terlanjur abu-abu, dunia seakan mengambilnya dariku. Aku tidak akan memprotes itu, aku akan berproses saja pada perubahan ini.
Dan malam itu adalah malam terakhir aku menerima pesannya. Itu terjadi beberapa waktu yang lalu. Tapi prosesnya masih tersisa hingga saat aku mengeluh akan sembabnya mata ini. Tuhan telah mengganti warnaku dengan perginya kamu, rasa kecewa ini memang tak begitu kuat untuk mengalakan rasa yang ada, tapi kamu yang pergi, kamu yang memunggungiku jadi salahkah aku bila sekarang aku memilih abu-abu ini, hingga nanti Pelangi akan menghujani ku lagi?