Kamis, 22 Mei 2014

AS LONG AS “INGGRIS” - Menapaki dan me-“NYATA”-kan kepulangan.





                Aku bukan seorang Inggris, bukan juga makhluk indo yang berdarah Inggris, sama sekali bukan. Kedua orang tuaku asli indonesia, tepatnya orang jawa, tak ada darah Inggris setetespun yang mengalir dalam tubuhku. Malah kalau dirunut, aku justru bernenek moyang cina dari ibuku. Tapi entah kenpa aku selalu menyebut Inggris dengan “ Pulang “. Impian terbesarku adalah bisa ‘ Pulang “ ke Inggris.

                Setiap malam setelah selesai belajar, aku akan secara otomatis mengambil posisi duduk paling dekat dengan ayah. Seperti tak sabar mendengar semua cerita, yang setiap malamnya selalu bersambung pada bagian yang membuatku  penasaran. Ayah dan Inggris, seperti sepasang sepatu yang selalu berjalan beriringan. Ayahku bukan menteri luar negeri atau seorang saudagar kaya yang sering bertandang ke Inggris, ayahku hanya seorang biasa yang teramat biasa. Beliau hanya seorang sopir angkutan umum, armada yang berhasil beliau beli setelah menguras semua isi tabungan selama puluhan tahun. Itupun juga membeli angkot bekas milik temannya yang telah meninggal. Lantas apa hubungan ayah dengan Inggris?
Saat muda dulu ayah pernah dipaksa untuk ikut ke Inggris oleh seorang pedagang kaya dari Indonesia, ayah masih berumur 15 tahun waktu itu. Ayah bekerja pada orang kaya itu sebagai karyawan di salah satu toko miliknya. Di Inggris ayah berperan sebagai asisten pribadi pedagang kaya itu, jadi kemana pun dia pergi, ayah pasti turut serta bersamanya.

                Ayah bilang disana banyak hal menarik, aku selalu menangkap kilatan kebahagiaan setiap kali ayah mulai bercerita tentang Inggris. Seperti ada rindu yang haus terpenuhi untuk bisa kembali berada di sana. Selama di Inggris ayah banyak menghabiskan waktunya di London. Pada tahun 60-an, di London terjadi suatu fenomena budaya yang berorientasi pada gaya hidup remaja, yang menenkankan pada hal-hal yang sifatnya baru dan modern, dan mereka menggunakan istilah “Swinging London”untuk menyebut fenomena budaya itu. Fenomena ini juga menjadi awal dari revolusi budaya di Inggris sebelum era “Pop” menyebar ke seluruh dunia. Inilah era lahirnya grup-grup musik yang akhirnya mendunia dan masih dikenal hingga sekarang misalnya, The beatles, the rolling stones, the kinks, dan musisi-musisi lainnya yang selanjutnya dikenal di Amerika. Ayah merasa sangat beruntung bisa tinggal di Inggris pada era itu, era pertumbuhan dan perkembangan, ayah biasa menyebutnya begitu.

                Tak hanya dalam bidang musik, pada era yang sama, lahir juga ikon-ikon mode di dunia, hingga muncullah pusat-pusat perbelanjaan seperti Carnaby Street, King’s Road dan Chelsea. Para pemuda di sana, selalu berusaha mengadaptasi life style yang berkembang dengan pola hidup, selera serta kemampuan isi dompet. Ada juga golongan remaja yang dipanggil “Mods”, dari tata rambut dan cara berpakaian, mereka banyak diasosiasikan dengan kelompok yang rasis dan neo nazi, padahal sejatinya mereka sama sekali bukan kaum neo nazi. Ayah yang ketika itu juga memilih gaya rambut botak, sempat disangka seorang mods yang rasisme, untung saja ayah dengan dibantu majikannya, berhasil meyakinkan lembaga setempat tentang asal dan tujuan mereka berada di Inggris, tak luput juga soal kepala botak ayah yang menjadi sumber masalah.

                Ayah berjalan ke sebuah almari yang tak jauh dari tempat duduk kami. Beliau terlihat membolak balik isi lemari dan mengeceknya satu-satu, aku jadi penasaran sebenarnya hal apa yang lebih menarik perhatiannya untuk segera di temukan, daripada meneruskan cerita bersambungnya kepadaku.
“ Seharusnya ada di sini “, aku pendengar suara ayah yang walaupun sepertinya, dia hanya sedang bicara pada dirinya sendiri. Tak lama kemudian ayah kembali duduk bersamaku, ada guratan kecewa di wajah tuanya, sepertinya beliau tidak menemukan apa yang beliau cari.
“ Sebenarnya aku ingin menunjukkan satu foto kepadamu, tapi sepertinya foto itu sudah hilang atau mungkin saja aku lupa menaruhnya, nanti coba aku cari lagi. “
Jelasnya kepadaku, aku jadi semakin penasaran foto apa sebenarnya yang ingin ayah tunjukkan padaku, sepertinya sesuatu yang penting, sehingga membuatnya begitu kecewa ketika foto itu tidak ditemukan.
Setelah berdehem sebentar, lantas ayah melanjutkan ceritanya. Di London, ada satu ikon yang terkenal hingga sekarang, Jembatan Menara atau lebih dikenal dengan Tower Bridge. Jembatan itu membentang di atas sungai themes, sungai yang paling terkenal di Inggris. Tidak hanya kendaraan yang melintas bebas di atas jembatan ini, tapi jembatan ini dilengkapi dengan dua koridor untuk pejalan kaki, dari ketinggian sekitar 42 meter para pejalan kaki bisa menikmati keindahan kota London dari atas. Ayah sering memilih jalan-jalan ke sana ketika sedang bepergian sendiri. Ayah suka berlama-lama di sana, melihat lampu-lampu kota, melihat kapal-kapal yang melintas, bahkan di sana juga, ayah memilih tempat untuk menikmati langit dan kerinduan. Dan ternyata sesuatu yang tadi ayah cari adalah foto saat beliau sedang berada di Tower Bridge pada suatu senja, bersama Liora seorang Inggris yang beliau kenal di sana. Itu adalah satu-satunya foto ayah di Inggris, bukti akurat keberadaan ayah di sana pada waktu itu. Aku jadi ikut menyesal kenapa foto itu menghilang, foto itu pasti salah satu barang paling berharga untuk ayah.
“ Kalau kamu sudah punya banyak uang nanti, bawa ayah kembali ke inggris ya, banyak kenangan yang tertinggal di sana, dan ayah akan tunjukan semua tempat yang ayah pernah ceritakan kepadamu.”
“ Dan kita akan foto berdua di Tower Bridge ya yah, siapa tau kita bisa bertemu Liora di sana “ celotehku asal menanggapi kaliamt panjang ayah. Ayah mengusap rambutku pelan sembari terkekeh. Ada janji yang sengaja aku buat dalam celotehku, janji pada ayah untuk menemaninya “Pulang”.

                Ada kerinduan yang teramat sangat di pancaran mata ayah saat menceritakan Tower Bridge. Sepertinya ada kenangan mendalam yang tertutup rapat untuk ayah sendiri. Ayah menceritakan begitu banyak hal tentang Inggris, tentang penduduknya yang kala itu sangat sensitif dengan sedikit saja perubahan. Kondisi keamanan yang belum stabil, apalagi masih musim pengeboman kala itu. Kota tua dan bangunan sejarah yang pernah ayah kunjungi selama di sana, mulai dari museum, kastil sampai lapangan olahraga, dan piala dunianya. Setiap gugusan cerita yang ayah sampaikan, menjelma bak hipnotis di kupingku. Setiap alur cerita yang mencoba ayah bangun, membuat aku merasa sedang berada di dalamnya, ikut merasakan apa yang sedang ayah rasakan saat itu. Hampir satu tahun ayah tinggal di Inggris, banyak orang yang tadinya asing, berubah menjadi kawan hidup. Jatuh bangun ayah rasakan di sana, mulai yang menjadi tahan seminggu pemerintahan Inggris karena kepala “botak”nya, sampai yang tinggal di sebuah rumah orang lokal karena tersesat dan kehabisan uang saat mengambil pesanan barang milik majikannya. Ayah selalu menceritakan kepadaku setiap detail yang beliau ingat, hanya satu yang beliau tak pernah bahas, meski aku pernah menanyakannya, Liora. Siapa Liora?

                Ayah meninggal sebelum aku memenuhi janjiku untuk  membawanya kembali  “pulang”. Ini akan menjadi sebuah ziarah hati ketika suatu hari nanti aku bisa ke sana. Melihat kembali apa yang pernah ayah lihat, dengan situasi yang berbeda, tidak semencekam dulu tentunya. Akan aku bawa sebuah kamera yang akan aku gunakan untuk berfoto ketika nanti aku berada di Tower Bridge, tempat kesukaan ayah. Aku yakin ayah tidak akan pernah menganggap celotehku waktu itu sebagai janji, tapi kalimat itu adalah satu janji untuk diriku sendiri. Aku ingin memunguti remah-remah kerinduan ayah yang tertinggal, menapaki sisa-sisa guratan tapak kakinya. Aku masih menyebut Inggris dengan suatu kepulangan, sampai suatu saat nanti aku benar-benar bisa pulang kembali ke sana, untuk ayah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar