Aku bukan seorang
Inggris, bukan juga makhluk indo yang berdarah Inggris, sama sekali bukan.
Kedua orang tuaku asli indonesia, tepatnya orang jawa, tak ada darah Inggris
setetespun yang mengalir dalam tubuhku. Malah kalau dirunut, aku justru
bernenek moyang cina dari ibuku. Tapi entah kenpa aku selalu menyebut Inggris
dengan “ Pulang “. Impian terbesarku adalah bisa ‘ Pulang “ ke Inggris.
Setiap malam setelah
selesai belajar, aku akan secara otomatis mengambil posisi duduk paling dekat
dengan ayah. Seperti tak sabar mendengar semua cerita, yang setiap malamnya
selalu bersambung pada bagian yang membuatku penasaran. Ayah dan Inggris, seperti sepasang
sepatu yang selalu berjalan beriringan. Ayahku bukan menteri luar negeri atau seorang
saudagar kaya yang sering bertandang ke Inggris, ayahku hanya seorang biasa
yang teramat biasa. Beliau hanya seorang sopir angkutan umum, armada yang
berhasil beliau beli setelah menguras semua isi tabungan selama puluhan tahun.
Itupun juga membeli angkot bekas milik temannya yang telah meninggal. Lantas
apa hubungan ayah dengan Inggris?
Saat muda dulu ayah pernah dipaksa untuk ikut ke Inggris oleh seorang
pedagang kaya dari Indonesia, ayah masih berumur 15 tahun waktu itu. Ayah
bekerja pada orang kaya itu sebagai karyawan di salah satu toko miliknya. Di
Inggris ayah berperan sebagai asisten pribadi pedagang kaya itu, jadi kemana
pun dia pergi, ayah pasti turut serta bersamanya.
Ayah bilang disana
banyak hal menarik, aku selalu menangkap kilatan kebahagiaan setiap kali ayah
mulai bercerita tentang Inggris. Seperti ada rindu yang haus terpenuhi untuk
bisa kembali berada di sana. Selama di Inggris ayah banyak menghabiskan
waktunya di London. Pada tahun 60-an, di London terjadi suatu fenomena budaya yang
berorientasi pada gaya hidup remaja, yang menenkankan pada hal-hal yang
sifatnya baru dan modern, dan mereka menggunakan istilah “Swinging London”untuk
menyebut fenomena budaya itu. Fenomena ini juga menjadi awal dari revolusi
budaya di Inggris sebelum era “Pop” menyebar ke seluruh dunia. Inilah era
lahirnya grup-grup musik yang akhirnya mendunia dan masih dikenal hingga
sekarang misalnya, The beatles, the rolling stones, the kinks, dan
musisi-musisi lainnya yang selanjutnya dikenal di Amerika. Ayah merasa sangat
beruntung bisa tinggal di Inggris pada era itu, era pertumbuhan dan
perkembangan, ayah biasa menyebutnya begitu.
Tak hanya dalam bidang
musik, pada era yang sama, lahir juga ikon-ikon mode di dunia, hingga muncullah
pusat-pusat perbelanjaan seperti Carnaby Street, King’s Road dan Chelsea. Para
pemuda di sana, selalu berusaha mengadaptasi life style yang berkembang dengan
pola hidup, selera serta kemampuan isi dompet. Ada juga golongan remaja yang
dipanggil “Mods”, dari tata rambut dan cara berpakaian, mereka banyak
diasosiasikan dengan kelompok yang rasis dan neo nazi, padahal sejatinya mereka
sama sekali bukan kaum neo nazi. Ayah yang ketika itu juga memilih gaya rambut
botak, sempat disangka seorang mods yang rasisme, untung saja ayah dengan
dibantu majikannya, berhasil meyakinkan lembaga setempat tentang asal dan
tujuan mereka berada di Inggris, tak luput juga soal kepala botak ayah yang
menjadi sumber masalah.
Ayah berjalan ke
sebuah almari yang tak jauh dari tempat duduk kami. Beliau terlihat membolak
balik isi lemari dan mengeceknya satu-satu, aku jadi penasaran sebenarnya hal
apa yang lebih menarik perhatiannya untuk segera di temukan, daripada
meneruskan cerita bersambungnya kepadaku.
“ Seharusnya ada di sini “, aku pendengar suara ayah yang walaupun
sepertinya, dia hanya sedang bicara pada dirinya sendiri. Tak lama kemudian
ayah kembali duduk bersamaku, ada guratan kecewa di wajah tuanya, sepertinya
beliau tidak menemukan apa yang beliau cari.
“ Sebenarnya aku ingin menunjukkan satu foto kepadamu, tapi sepertinya foto
itu sudah hilang atau mungkin saja aku lupa menaruhnya, nanti coba aku cari
lagi. “
Jelasnya kepadaku, aku jadi semakin penasaran foto apa sebenarnya yang
ingin ayah tunjukkan padaku, sepertinya sesuatu yang penting, sehingga
membuatnya begitu kecewa ketika foto itu tidak ditemukan.
Setelah berdehem sebentar, lantas ayah melanjutkan ceritanya. Di London,
ada satu ikon yang terkenal hingga sekarang, Jembatan Menara atau lebih dikenal
dengan Tower Bridge. Jembatan itu membentang di atas sungai themes, sungai yang
paling terkenal di Inggris. Tidak hanya kendaraan yang melintas bebas di atas
jembatan ini, tapi jembatan ini dilengkapi dengan dua koridor untuk pejalan
kaki, dari ketinggian sekitar 42 meter para pejalan kaki bisa menikmati
keindahan kota London dari atas. Ayah sering memilih jalan-jalan ke sana ketika
sedang bepergian sendiri. Ayah suka berlama-lama di sana, melihat lampu-lampu
kota, melihat kapal-kapal yang melintas, bahkan di sana juga, ayah memilih tempat
untuk menikmati langit dan kerinduan. Dan ternyata sesuatu yang tadi ayah cari
adalah foto saat beliau sedang berada di Tower Bridge pada suatu senja, bersama
Liora seorang Inggris yang beliau kenal di sana. Itu adalah satu-satunya foto
ayah di Inggris, bukti akurat keberadaan ayah di sana pada waktu itu. Aku jadi
ikut menyesal kenapa foto itu menghilang, foto itu pasti salah satu barang
paling berharga untuk ayah.
“ Kalau kamu sudah punya banyak uang nanti, bawa ayah kembali ke inggris
ya, banyak kenangan yang tertinggal di sana, dan ayah akan tunjukan semua
tempat yang ayah pernah ceritakan kepadamu.”
“ Dan kita akan foto berdua di Tower Bridge ya yah, siapa tau kita bisa
bertemu Liora di sana “ celotehku asal menanggapi kaliamt panjang ayah. Ayah mengusap
rambutku pelan sembari terkekeh. Ada janji yang sengaja aku buat dalam
celotehku, janji pada ayah untuk menemaninya “Pulang”.
Ada kerinduan yang
teramat sangat di pancaran mata ayah saat menceritakan Tower Bridge. Sepertinya
ada kenangan mendalam yang tertutup rapat untuk ayah sendiri. Ayah menceritakan
begitu banyak hal tentang Inggris, tentang penduduknya yang kala itu sangat
sensitif dengan sedikit saja perubahan. Kondisi keamanan yang belum stabil,
apalagi masih musim pengeboman kala itu. Kota tua dan bangunan sejarah yang
pernah ayah kunjungi selama di sana, mulai dari museum, kastil sampai lapangan
olahraga, dan piala dunianya. Setiap gugusan cerita yang ayah sampaikan,
menjelma bak hipnotis di kupingku. Setiap alur cerita yang mencoba ayah bangun,
membuat aku merasa sedang berada di dalamnya, ikut merasakan apa yang sedang
ayah rasakan saat itu. Hampir satu tahun ayah tinggal di Inggris, banyak orang
yang tadinya asing, berubah menjadi kawan hidup. Jatuh bangun ayah rasakan di
sana, mulai yang menjadi tahan seminggu pemerintahan Inggris karena kepala
“botak”nya, sampai yang tinggal di sebuah rumah orang lokal karena tersesat dan
kehabisan uang saat mengambil pesanan barang milik majikannya. Ayah selalu
menceritakan kepadaku setiap detail yang beliau ingat, hanya satu yang beliau tak
pernah bahas, meski aku pernah menanyakannya, Liora. Siapa Liora?
Ayah meninggal sebelum
aku memenuhi janjiku untuk membawanya
kembali “pulang”. Ini akan menjadi
sebuah ziarah hati ketika suatu hari nanti aku bisa ke sana. Melihat kembali
apa yang pernah ayah lihat, dengan situasi yang berbeda, tidak semencekam dulu
tentunya. Akan aku bawa sebuah kamera yang akan aku gunakan untuk berfoto
ketika nanti aku berada di Tower Bridge, tempat kesukaan ayah. Aku yakin ayah
tidak akan pernah menganggap celotehku waktu itu sebagai janji, tapi kalimat
itu adalah satu janji untuk diriku sendiri. Aku ingin memunguti remah-remah
kerinduan ayah yang tertinggal, menapaki sisa-sisa guratan tapak kakinya. Aku
masih menyebut Inggris dengan suatu kepulangan, sampai suatu saat nanti aku
benar-benar bisa pulang kembali ke sana, untuk ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar