“ Terima kasih kita masih berjalan bersama, tembus badai
opini dan tsunami hujatan “
-Untuk Sahabatku, dari album 32-
Aku ada satu
pertanyaan, siapa menurutmu sahabat yang benar-benar menjadi sahabat?
Pasti akan langsung terlintas beragam nama dalam otakmu
sekarang, mencari dan memilah salah satu nama dari sederetan nama yang berhasil
dihimpun cepat oleh kerja otakmu. Andai pertanyaan itu ditujukan buat aku
sekarang, aku akan menjawab dengan cepat “AKU”.
Ya… aku adalah sahabat pertama bagi diriku sendiri. Mengenal
diri sendiri dengan baik dan menjadikan diri sendiri sebagai sahabat pertama
sangat membantu aku mengenal siapa aku, apa yang aku inginkan, apa yang aku
benci dan apa yang harus aku lakukan.
Hampir dua
tahun aku hidup di wilayah Wita. Pekerjaan baruku
yang menggiring aku kesini. Aku bukan orang yang sama dengan aku yang dua tahun
lalu. Aku menjadi aku yang baru yang terkadang tak jarang aku sesali atas
keberadaanku disini. Sekarang aku bukan hanya seorang warga sipil melainkan aku
seorang Aparatur Sipil Negara, yang mengabdi untuk kepentingan masyarakat
banyak, alih-alih menjadi superhero malah yang ada aku menjadi lebih tau
seperti apa Negara ini beserta kekuatan hukumnya dari dekat.
Duniaku yang baru gambarannya jauh
dari duniaku yang sebenarnya itu kenapa aku punya alasan kuat untuk merasa
“salah tempat”. Bukan ditempat yang penuh kepura-puraan ini seharusnya aku
berada… hingga suatu malam aku kembali membaca , mengulang dan mempelajari
hal-hal baru yang sekarang ini menjadi makanan sehari-hariku. Andai bisa dikata
lain posisiku sekarang ini sudah seperti jatuh kedalam lumpur, kotor, basah dan
tak seorangpun bercita-cita untuk jatuh dalam kubangan tersebut. Sama halnya
dengan yang aku rasa, tidak terima dan ingin segera pergi. Tapi kakiku sudah
terlanjur tertanam, hingga jangankan berpikir untuk lari bahkan untuk
mengangkat kaki berpindah saja tidak mudah. Satu-satunya hal yang bisa aku
lakukan adalah bersahabat dengan diriku sendiri sehingga aku bisa bersepakat
untuk melakukan sesuatu agar kotor ini tidak menjadi noda yang membekas.
Karena pada
dasarnya kita semua adalah seorang pejuang, kita mempunyai kancah perang yang
berbeda, namun sama-sama punya perjuangan, dan disinilah kancah perangku
berada. Berjuang untuk bisa Jujur adalah perjuangan yang buat aku paling
menantang. Harus jujur dikubangan kepura-puraan, tentu tidak mudah. Awalnya aku
memilih untuk bersikap masa bodoh, itu dulu sebelum akhirnya aku bersahabat
dengan diriku sendiri.
Seperti makan buah simalakama, jujur kamu mati, bergabung
kamu bunuh diri, itu sudah… kamu milih mana?
Hampir dua tahun aku meninggalkan segala sesuatu yang
membebaskan aku, aku lebih banyak diam, bukan aku yang biasa bicara lantang,
mengeluarkan pendapat dan berani mendebat. Aku sadar akan keberadaanku yang
masih baru disini, sedikit saja aku salah langkah, aku mati. Untuk itulah aku
lebih memilih untuk berhati-hati. Aku diam bukan hanya sekedar diam, aku amati
setiap pergerakan disekitaranku, aku belajar banyak dari orang-orang sekitarku.
Aku mulai bisa menyaru diantara mereka, terlihat bersepakat.
Begitu murahnya
harga sebuah kejujuran, bahkan kejujuranmu selalu bisa di “hargai” di Negara
ini. Kalau untuk sebuah kejujuran saja kau tak mampu lakukan lantas keadilan seperti
apa yang kau harapkan?
Mereka bisa dengan leluasa memperjual belikan sebuah
kejujuran demi kepentingan segelintir kalangan. Bahkan untuk kasus-kasus
tertentu mereka mempunyai “makelar”nya sendiri. Menyelamatkan harga diri dengan
membeli harga diri orang lain.
Entah hukum alam yang seperti apa yang selalu menancapkan
pisau dengan seruan “Yang lemah selalu Kalah”.. tapi benar saja, pihak yang
seharusnya terbela keberadaannya justru makin tertindas tatkala mereka
berteriak minta keadilan dan pertolongan. Mulut-mulut mereka “Dibeli” (tentunya
dengan paksaan).
Aku coba
ambil beberapa contoh kasus dari beragam kasus yang ada. PEMERKOSAAN, kurang
mengerikan apa sih satu kata itu? Pemerkosaan anak dibawah umur, balita bahkan
sekarang ini tidak jarang menimpa anggota keluarga sendiri. Dan tentu saja yang
seperti kita semua tau, pelakunya tidak pernah jauh-jauh dari sekitaran
orang-orang terdekat saja. Tapi sejauh yang aku tau dan yang aku ikuti dari
beberapa kasus perkosaan disini, putusan hakim untuk kasus mengerikan ini
terasa sangat ringan, kenapa? Karena kebanyakan dari mereka yang terlibat
disini sudah terbeli kejujurannya. Kenapa mereka mau menjual kejujurannya
sehingga melupakan kewajiban untuk menciptakan sebuah keadilan? Ada 2 opsi,
hanya dua yang aku tau, yang pertama karena “Kebutuhan”, dan yang kedua karena
“Paksaan”.
“Kebutuhan”.. disini kebanyakan korban berasal dari keluarga
menengah kebawah. Pelaku terasa sangat santai tanpa perlu rasa takut untuk
melakukan kejahatan ini, karena mereka selalu berdalih, dengan uang semuanya
selesai, karena pikir mereka kalangan lemah seperti korban akan mudah menerima
uang untuk mencukupi kebutuhan mereka dibanding berdiri, menegakkan kepala dan
tetap teguh mencari keadilan.
“Paksaan”.. demi kepentingan sebelah pihak dengan alih-alih
menjaga citra dan nama baik atau apalah hal lain yang ingin mereka jaga, mereka
memaksa sosok yang tadinya berdiri tegak memasang badan untuk mencari keadilan
berubah tunduk dan legowo menerima keadaan.. cara ini biasanya butuh
kesinambungan dari beberapa pihak terkait, dan yang pasti keterlibatan orang
sepertiku sangat besar mengambil bagian. Tentu saja masih dengan bahasa
imbalan. Sumpah dan seragam kami tak luput terbeli selain kejujuran tentunya.
Tapi banyak diantara kami yang sangat terbiasa seperti itu.
Beda perkara
tapi masalahnya sama “Kejujuran”. Lihat itu si “Pencuri” kayu.. berapa tahun
putusan yang dia dapatkan, padahal kayu yang dia ambil demi menjaga nyala api
dapur kecil mereka, demi memenuhi kebutuhan keluarga. Dan seberapa merugikan
sih beberapa batang kayu itu untuk hitungan pengusaha yang tajirnya bisa beli
tanah berhektar-hektar? Tapi dengan congkaknya dengan meniadakan rasa
kemanusiaan mereka kaum atas tetap menuntut rugi dari apa yang sebenarnya tidak
membuat mereka rugi sama sekali. Beda cerita kalau kaum atas itu mencuri uang
rakyat yang bukan haknya, mau tidak mereka dihukum berat, jangankan setahun dua
tahun yang aku rasa hukuman itu juga masih amat sangat terlalu ringan. Mereka malah
menuntut bebas dengan tidak pernah mau mengakui kelakuannya. Sekarang.. kalau
kita sama-sama menyebut mereka “Pencuri”, mana pencuri yang lebih biadab?.
Sedikit banyak
keterlibatan kami dalam hal-hal seperti diatas bukan lagi rahasia umum. Bahkan kami
benar-benar akan menutup mata dan menganggap rasa kemanusiaan itu tidak pernah
ada. Kami terbiasa menjual pekerjaan kami demi “Uang”. Siapa sih di dunia ini
yang tidak membutuhkan uang, tapi apa hanya karena kita butuh kita jadi lupa
bahwa ada sebagian dari diri kita yang terbunuh, hati nurani.
Memang tidak semua dari kami seperti itu, masih banyak
diantara kami yang tidak terbeli. Mereka bekerja dengan hati, mereka bekerja
karena Tuhan, dan merekalah yang selalu jadi pihak minoritas dikalangan kami. Terasa
dan terlihat aneh ketika masih ada orang baik disekitar kita.. kebalik banget
gak sih?
Aku yang hanya serupa aku tentu tidak
akan bisa merubah apa yang sudah mengakar disini, siapa aku? Tidak bisa merubah
bukan berarti harus seperti mereka juga agar tidak menjadi minoritas dikalangan
sendiri. Ya.. aku memilih untuk menjadi bagian dari minoritas itu, kalau untuk
memperbaiki mental dan moral mereka aku tidak mampu setidaknya aku bisa manjaga
moral dan mentalku sendiri. Diperlakukan sebagai minoritas terkadang tidak
menguntungkan, tapi inilah yang aku pilih, “kejujuran” adalah asset utama dalam
hidup. Ibu selalu mengajarkan aku, “saat kamu butuh uang dan uang bisa
membelimu, ingat kembali Tuhan dan tujuan hidupmu, semua akan baik-baik saja
tanpa kamu menjual dirimu sendiri dan melakukan dosa bersama mereka.”
Saat terdiam..
saat aku mulai lelah menjadi kaum minoritas.. saat aku melihat banyak
ketidakadilan disini.. saat aku melihat mereka sibuk bernegosiasi harga “Kejujuran”
mereka, rasanya mulut yang terkunci ini ingin berteriak lantang, bertanya ada
setiap hati kecil mereka sebagai Aparatur Sipil Negara, “ADAKAH, INDONESIANYA?”..
masih adakah Indonesia dihati mereka. Akankah mereka terus membiarkan Indonesia
jadi serendah ini. Untuk inikah dulu mereka mendaftar menjadi bagian dari
Negara ini.. bukan untuk merubah Indonesia menjadi lebih baik melainkan untuk
menjadi bagian dari kebodohan itu sendiri.. “ADAKAH, INDONESIANYA?..”
“ Terima kasih kita masih berjalan bersama, tembus badai
opini dan tsunami hujatan “
-Untuk Sahabatku, dari album 32-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar