Rabu, 15 Juni 2016

kisah cinta #1 *) ~13~ a home where sweet and bitter can be together by. *windy-ariestanty* May 19, 2015

Jadi begini. Aku akan memulai cerita dengan menegaskan kepadamu; tidak semua kisah cinta di muka bumi berjalan baik, bahagia, dan tanpa pengkhianatan.
***
TEMANKU datang pada suatu malam dengan mata sembab. Ia mengaku sudah berhari-hari susah tidur dan kehilangan semua gairah. Lelaki yang dinikahinya sejak tiga tahun lalu kedapatan selingkuh. Ia dengan penuh kesadaran memutuskan untuk bercerai. Surat cerai sudah ia layangkan seminggu sebelum ia tiba-tiba muncul di rumahku.
‘Kau sudah memutuskan?’ tanyaku pelan-pelan. Ia mengangguk. Ia tak merasa perlu mempertahankan seseorang yang sudah tak memperjuangkannya juga katanya. Berita yang ia bawa mengejutkanku. Kupikir selama ini semua baik-baik saja. Aku sebenarnya kurang paham mengapa orang harus berselingkuh. Kenapa tak katakan saja dengan terang-terangan bahwa kau jatuh cinta kepada yang lain. Kau tak perlu bersembunyi. Kau tak perlu jadi pengecut. Tentu akan terasa sakit. Namun, rasa-rasanya lebih sakit disodori kenyataan pahit yang kau ketahui dari orang lain. Ini terasa seperti pengkhianatan bertubi-tubi.
Aku sering pikir mengapa ketika jatuh cinta kita berani mengatakannya, tetapi ketika sudah tak cinta, kita menjadi begitu penakut mengatakannya?
Temanku menyetujui hal itu. Yang membuat ia sakit adalah merasa dikhianati, merasa ia mencintai sendirian. ‘Katakan saja terus terang. Kenapa tak bisa dibicarakan semuanya baik-baik?’ Ia duduk di hadapanku dengan mata menerawang.
‘Lelaki mungkin sering berpikir perempuan suka dibohongi?’ Aku mencoba menyisipkan kelakar. Temanku tersenyum tipis sambil sedikit membesarkan mata tanda ia menanggapi hal itu. ‘Aku bukan orang yang akan merengek meminta dia bersamaku. Kau tahu itu, kan?’ Aku mengangguk. Ia segelintir dari perempuan berani yang aku kenal. Temanku memutuskan menjadi orangtua tunggal ketika mengetahui lelaki dari anak pertamanya tak ingin bertanggung jawab atas janin di perutnya. Ia tak ingin terjebak dalam pernikahan hanya untuk tampak ‘baik’ di mata lingkungan sosial.
Memulai komitmen harus datang dari keinginan bersama. Kalau salah satu tidak menginginkannya lagi, maka tak perlu meminta. ‘Lupakan saja lelaki macam itu,’ katanya saat itu. Aku sangat menyukai temanku yang memiliki pemikiran ini. Perempuan kerap kali merasa khawatir sendirian. Namun dengan perut membuncit karena kehamilan telah masuk bulan ketiga, ia memutuskan menjadi orangtua tunggal tanpa merengek kepada lelaki itu. Ia tak pernah menyediakan dirinya menjadi korban dan terus-terusan menyalahkan orang lain.
Lelaki itu, tentu saja namanya ia coret dalam daftar manusia baik sebab ia seorang pengecut. Hal baiknya, temanku tidak pernah menutupi siapa ayah dari anaknya. Ia pun tak pernah menghalangi seandainya lelaki itu ingin bertemu anaknya. ‘Aku tak mau jadi pengecut hanya karena ingin dilihat baik,’ katanya. Itu perkataannya yang sampai hari ini terpatri di ingatanku. Lalu setelah sekian tahun, ia bertemu dengan lelaki lain yang kemudian ia nikahi, menjadi bapak dari anak-anaknya.
‘Rasanya yang ini jauh lebih sakit. Kami sudah memutuskan menjalani pernikahan. Aku berpikir aku telah bertemu lelaki yang tepat.’ Kembali ia terisak. Aku mengembuskan napas panjang-panjang. Aku belum menikah dan memang meragukan pernikahan bisa mendatangkan kebahagiaan untukku. Akan tetapi aku tahu, mereka yang berjalan menuju pernikahan tak ada yang mengharapkan keburukan apalagi sebuah pengkhianatan.
Namun kesetiaan bukan sesuatu yang bisa dibeli hanya dengan cincin di jari manis atau sumpah, sekalipun di hadapan Tuhan. Tuhan sendiri pun belajar ia kerap dikhianati oleh manusia, kurasa.
‘Jadi sudah begini akhirnya?’ tanyaku memastikan bahwa bercerai memang yang terbaik.
Temanku membalikkan badannya menghadapku. Aku melihat berbulir-bulir air mata mengalir, tangis tanpa suara dari bibir. Ia mengangguk. ‘Aku tak bisa hidup dengan ia yang telah  mengkhianatiku,’ katanya lirih. ‘Aku tahu aku bukan istri yang sempurna. Tapi mengapa itu tak ia bicarakan dari awal? Mengapa ia juga harus jadi seorang pengkhianat yang pengecut?’
Aku membaringkan badan di sebelahnya, memiringkan badan agar kami kembali berhadap-hadapan. ‘Kautahu aku juga bukan orang baik, kan? Aku juga bejat.’ Aku selalu cemas merespons kisah-kisah seperti ini, aku tak tahu harus memberi masukan apa. ‘Aku tahu kau. Aku tahu kau tak akan lantas berpihak padaku hanya karena aku temanmu. Dia pun temanmu. Perempuan itu pun temanmu.’
‘Lalu apa yang kaumau?’
‘Kejujuran. Aku mau mereka berdua ada di hadapanku dan mengaku bahwa mereka memang berselingkuh.’
‘Bagaimana kalau kata selingkuhnya kita ubah?’ Aku bertanya.
Ia tertawa kecil sambil mengelap ingus, ‘Jadi apa?’
‘Bahwa mereka berdua memang saling jatuh cinta? Saling mencintai?’ saranku. Temanku menuntut kejujuran. Kurasa ia pun harus berani belajar menerima kenyataan bahwa lelakinya jatuh cinta kepada perempuan lain. Sebenarnya, temanku telah menunjukkan keberanian ini sejak awal. ‘Mari kita ajari mereka lebih berani mengakui apa yang terjadi,’ sambungku.
Temanku terdiam lama sebelum berkata, ‘Kurasa itu kalimat yang lebih baik.’
Temanku—dan aku sungguh bangga kepadanya—memutuskan dengan penuh kesadaran bercerai dari lelakinya. Ia tukarkan itu dengan sebuah kejujuran dari lelaki yang pernah ia cintai dan perempuan yang kini dicintai lelakinya.
Jika lelaki dan perempuan itu masih saja kucing-kucingan, kurasa temanku jadi tahu bahwa mereka memang sedari mula pengecut. Dan harga untuk menjadi tahu memang mahal. Bejat dan bermartabat tak pernah beriringan, Kawan.
Manusia, bagaimanapun, bagiku bukan makhluk setia. Jika tak (dianggap) mengkhianati orang lain, maka ia akan berkhianat pada hati nuraninya sendiri. Pada ujungnya, ia harus memilih mana yang hendak dikhianati; —dirinya atau  orang lain.

Malam kian tua, temanku jatuh tertidur. Aku di antara pikiran yang masih bergelut dan kantuk yang menyalut mata, teringat kepada buku catatan pemberian Wine, seorang sahabat, untuk ulang tahunku. Buku sederhana itu bertuliskan kutipan Pramoedya Ananta Toer, ‘Kesederhanaan adalah kejujuran. Dan keberanian adalah ketulusan.’
Temanku memenangkan keduanya malam itu.
***
INILAH kisah cinta pengantar tidurku. Sebagaimana kukatakan kepadamu sejak semula, tak semua kisah cinta berlangsung bahagia dan tanpa pengkhianatan. Kupikir itu mengapa semua dongeng cinta berakhir pada hari di mana pangeran dan putri bersatu. Menjalani komitmen ternyata bukan sekadar memutuskan hidup bersama, tetapi memelihara perasaan untuk selalu jatuh cinta kepada orang yang sama. [13]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar