Rabu, 15 Juni 2016

kisah cinta #1 *) ~13~ a home where sweet and bitter can be together by. *windy-ariestanty* May 19, 2015

Jadi begini. Aku akan memulai cerita dengan menegaskan kepadamu; tidak semua kisah cinta di muka bumi berjalan baik, bahagia, dan tanpa pengkhianatan.
***
TEMANKU datang pada suatu malam dengan mata sembab. Ia mengaku sudah berhari-hari susah tidur dan kehilangan semua gairah. Lelaki yang dinikahinya sejak tiga tahun lalu kedapatan selingkuh. Ia dengan penuh kesadaran memutuskan untuk bercerai. Surat cerai sudah ia layangkan seminggu sebelum ia tiba-tiba muncul di rumahku.
‘Kau sudah memutuskan?’ tanyaku pelan-pelan. Ia mengangguk. Ia tak merasa perlu mempertahankan seseorang yang sudah tak memperjuangkannya juga katanya. Berita yang ia bawa mengejutkanku. Kupikir selama ini semua baik-baik saja. Aku sebenarnya kurang paham mengapa orang harus berselingkuh. Kenapa tak katakan saja dengan terang-terangan bahwa kau jatuh cinta kepada yang lain. Kau tak perlu bersembunyi. Kau tak perlu jadi pengecut. Tentu akan terasa sakit. Namun, rasa-rasanya lebih sakit disodori kenyataan pahit yang kau ketahui dari orang lain. Ini terasa seperti pengkhianatan bertubi-tubi.
Aku sering pikir mengapa ketika jatuh cinta kita berani mengatakannya, tetapi ketika sudah tak cinta, kita menjadi begitu penakut mengatakannya?
Temanku menyetujui hal itu. Yang membuat ia sakit adalah merasa dikhianati, merasa ia mencintai sendirian. ‘Katakan saja terus terang. Kenapa tak bisa dibicarakan semuanya baik-baik?’ Ia duduk di hadapanku dengan mata menerawang.
‘Lelaki mungkin sering berpikir perempuan suka dibohongi?’ Aku mencoba menyisipkan kelakar. Temanku tersenyum tipis sambil sedikit membesarkan mata tanda ia menanggapi hal itu. ‘Aku bukan orang yang akan merengek meminta dia bersamaku. Kau tahu itu, kan?’ Aku mengangguk. Ia segelintir dari perempuan berani yang aku kenal. Temanku memutuskan menjadi orangtua tunggal ketika mengetahui lelaki dari anak pertamanya tak ingin bertanggung jawab atas janin di perutnya. Ia tak ingin terjebak dalam pernikahan hanya untuk tampak ‘baik’ di mata lingkungan sosial.
Memulai komitmen harus datang dari keinginan bersama. Kalau salah satu tidak menginginkannya lagi, maka tak perlu meminta. ‘Lupakan saja lelaki macam itu,’ katanya saat itu. Aku sangat menyukai temanku yang memiliki pemikiran ini. Perempuan kerap kali merasa khawatir sendirian. Namun dengan perut membuncit karena kehamilan telah masuk bulan ketiga, ia memutuskan menjadi orangtua tunggal tanpa merengek kepada lelaki itu. Ia tak pernah menyediakan dirinya menjadi korban dan terus-terusan menyalahkan orang lain.
Lelaki itu, tentu saja namanya ia coret dalam daftar manusia baik sebab ia seorang pengecut. Hal baiknya, temanku tidak pernah menutupi siapa ayah dari anaknya. Ia pun tak pernah menghalangi seandainya lelaki itu ingin bertemu anaknya. ‘Aku tak mau jadi pengecut hanya karena ingin dilihat baik,’ katanya. Itu perkataannya yang sampai hari ini terpatri di ingatanku. Lalu setelah sekian tahun, ia bertemu dengan lelaki lain yang kemudian ia nikahi, menjadi bapak dari anak-anaknya.
‘Rasanya yang ini jauh lebih sakit. Kami sudah memutuskan menjalani pernikahan. Aku berpikir aku telah bertemu lelaki yang tepat.’ Kembali ia terisak. Aku mengembuskan napas panjang-panjang. Aku belum menikah dan memang meragukan pernikahan bisa mendatangkan kebahagiaan untukku. Akan tetapi aku tahu, mereka yang berjalan menuju pernikahan tak ada yang mengharapkan keburukan apalagi sebuah pengkhianatan.
Namun kesetiaan bukan sesuatu yang bisa dibeli hanya dengan cincin di jari manis atau sumpah, sekalipun di hadapan Tuhan. Tuhan sendiri pun belajar ia kerap dikhianati oleh manusia, kurasa.
‘Jadi sudah begini akhirnya?’ tanyaku memastikan bahwa bercerai memang yang terbaik.
Temanku membalikkan badannya menghadapku. Aku melihat berbulir-bulir air mata mengalir, tangis tanpa suara dari bibir. Ia mengangguk. ‘Aku tak bisa hidup dengan ia yang telah  mengkhianatiku,’ katanya lirih. ‘Aku tahu aku bukan istri yang sempurna. Tapi mengapa itu tak ia bicarakan dari awal? Mengapa ia juga harus jadi seorang pengkhianat yang pengecut?’
Aku membaringkan badan di sebelahnya, memiringkan badan agar kami kembali berhadap-hadapan. ‘Kautahu aku juga bukan orang baik, kan? Aku juga bejat.’ Aku selalu cemas merespons kisah-kisah seperti ini, aku tak tahu harus memberi masukan apa. ‘Aku tahu kau. Aku tahu kau tak akan lantas berpihak padaku hanya karena aku temanmu. Dia pun temanmu. Perempuan itu pun temanmu.’
‘Lalu apa yang kaumau?’
‘Kejujuran. Aku mau mereka berdua ada di hadapanku dan mengaku bahwa mereka memang berselingkuh.’
‘Bagaimana kalau kata selingkuhnya kita ubah?’ Aku bertanya.
Ia tertawa kecil sambil mengelap ingus, ‘Jadi apa?’
‘Bahwa mereka berdua memang saling jatuh cinta? Saling mencintai?’ saranku. Temanku menuntut kejujuran. Kurasa ia pun harus berani belajar menerima kenyataan bahwa lelakinya jatuh cinta kepada perempuan lain. Sebenarnya, temanku telah menunjukkan keberanian ini sejak awal. ‘Mari kita ajari mereka lebih berani mengakui apa yang terjadi,’ sambungku.
Temanku terdiam lama sebelum berkata, ‘Kurasa itu kalimat yang lebih baik.’
Temanku—dan aku sungguh bangga kepadanya—memutuskan dengan penuh kesadaran bercerai dari lelakinya. Ia tukarkan itu dengan sebuah kejujuran dari lelaki yang pernah ia cintai dan perempuan yang kini dicintai lelakinya.
Jika lelaki dan perempuan itu masih saja kucing-kucingan, kurasa temanku jadi tahu bahwa mereka memang sedari mula pengecut. Dan harga untuk menjadi tahu memang mahal. Bejat dan bermartabat tak pernah beriringan, Kawan.
Manusia, bagaimanapun, bagiku bukan makhluk setia. Jika tak (dianggap) mengkhianati orang lain, maka ia akan berkhianat pada hati nuraninya sendiri. Pada ujungnya, ia harus memilih mana yang hendak dikhianati; —dirinya atau  orang lain.

Malam kian tua, temanku jatuh tertidur. Aku di antara pikiran yang masih bergelut dan kantuk yang menyalut mata, teringat kepada buku catatan pemberian Wine, seorang sahabat, untuk ulang tahunku. Buku sederhana itu bertuliskan kutipan Pramoedya Ananta Toer, ‘Kesederhanaan adalah kejujuran. Dan keberanian adalah ketulusan.’
Temanku memenangkan keduanya malam itu.
***
INILAH kisah cinta pengantar tidurku. Sebagaimana kukatakan kepadamu sejak semula, tak semua kisah cinta berlangsung bahagia dan tanpa pengkhianatan. Kupikir itu mengapa semua dongeng cinta berakhir pada hari di mana pangeran dan putri bersatu. Menjalani komitmen ternyata bukan sekadar memutuskan hidup bersama, tetapi memelihara perasaan untuk selalu jatuh cinta kepada orang yang sama. [13]

Apa itu "Kejujuran?.."




“ Terima kasih kita masih berjalan bersama, tembus badai opini dan tsunami hujatan “
-Untuk Sahabatku, dari album 32-

            Aku ada satu pertanyaan, siapa menurutmu sahabat yang benar-benar menjadi sahabat?           
Pasti akan langsung terlintas beragam nama dalam otakmu sekarang, mencari dan memilah salah satu nama dari sederetan nama yang berhasil dihimpun cepat oleh kerja otakmu. Andai pertanyaan itu ditujukan buat aku sekarang, aku akan menjawab dengan cepat “AKU”.
Ya… aku adalah sahabat pertama bagi diriku sendiri. Mengenal diri sendiri dengan baik dan menjadikan diri sendiri sebagai sahabat pertama sangat membantu aku mengenal siapa aku, apa yang aku inginkan, apa yang aku benci dan apa yang harus aku lakukan.
            Hampir dua tahun aku hidup di wilayah Wita. Pekerjaan baruku yang menggiring aku kesini. Aku bukan orang yang sama dengan aku yang dua tahun lalu. Aku menjadi aku yang baru yang terkadang tak jarang aku sesali atas keberadaanku disini. Sekarang aku bukan hanya seorang warga sipil melainkan aku seorang Aparatur Sipil Negara, yang mengabdi untuk kepentingan masyarakat banyak, alih-alih menjadi superhero malah yang ada aku menjadi lebih tau seperti apa Negara ini beserta kekuatan hukumnya dari dekat.
Duniaku yang baru gambarannya jauh dari duniaku yang sebenarnya itu kenapa aku punya alasan kuat untuk merasa “salah tempat”. Bukan ditempat yang penuh kepura-puraan ini seharusnya aku berada… hingga suatu malam aku kembali membaca , mengulang dan mempelajari hal-hal baru yang sekarang ini menjadi makanan sehari-hariku. Andai bisa dikata lain posisiku sekarang ini sudah seperti jatuh kedalam lumpur, kotor, basah dan tak seorangpun bercita-cita untuk jatuh dalam kubangan tersebut. Sama halnya dengan yang aku rasa, tidak terima dan ingin segera pergi. Tapi kakiku sudah terlanjur tertanam, hingga jangankan berpikir untuk lari bahkan untuk mengangkat kaki berpindah saja tidak mudah. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah bersahabat dengan diriku sendiri sehingga aku bisa bersepakat untuk melakukan sesuatu agar kotor ini tidak menjadi noda yang membekas.
            Karena pada dasarnya kita semua adalah seorang pejuang, kita mempunyai kancah perang yang berbeda, namun sama-sama punya perjuangan, dan disinilah kancah perangku berada. Berjuang untuk bisa Jujur adalah perjuangan yang buat aku paling menantang. Harus jujur dikubangan kepura-puraan, tentu tidak mudah. Awalnya aku memilih untuk bersikap masa bodoh, itu dulu sebelum akhirnya aku bersahabat dengan diriku sendiri.
Seperti makan buah simalakama, jujur kamu mati, bergabung kamu bunuh diri, itu sudah… kamu milih mana?
Hampir dua tahun aku meninggalkan segala sesuatu yang membebaskan aku, aku lebih banyak diam, bukan aku yang biasa bicara lantang, mengeluarkan pendapat dan berani mendebat. Aku sadar akan keberadaanku yang masih baru disini, sedikit saja aku salah langkah, aku mati. Untuk itulah aku lebih memilih untuk berhati-hati. Aku diam bukan hanya sekedar diam, aku amati setiap pergerakan disekitaranku, aku belajar banyak dari orang-orang sekitarku. Aku mulai bisa menyaru diantara mereka, terlihat bersepakat.
            Begitu murahnya harga sebuah kejujuran, bahkan kejujuranmu selalu bisa di “hargai” di Negara ini. Kalau untuk sebuah kejujuran saja kau tak mampu lakukan lantas keadilan seperti apa yang kau harapkan?
Mereka bisa dengan leluasa memperjual belikan sebuah kejujuran demi kepentingan segelintir kalangan. Bahkan untuk kasus-kasus tertentu mereka mempunyai “makelar”nya sendiri. Menyelamatkan harga diri dengan membeli harga diri orang lain.
Entah hukum alam yang seperti apa yang selalu menancapkan pisau dengan seruan “Yang lemah selalu Kalah”.. tapi benar saja, pihak yang seharusnya terbela keberadaannya justru makin tertindas tatkala mereka berteriak minta keadilan dan pertolongan. Mulut-mulut mereka “Dibeli” (tentunya dengan paksaan).
            Aku coba ambil beberapa contoh kasus dari beragam kasus yang ada. PEMERKOSAAN, kurang mengerikan apa sih satu kata itu? Pemerkosaan anak dibawah umur, balita bahkan sekarang ini tidak jarang menimpa anggota keluarga sendiri. Dan tentu saja yang seperti kita semua tau, pelakunya tidak pernah jauh-jauh dari sekitaran orang-orang terdekat saja. Tapi sejauh yang aku tau dan yang aku ikuti dari beberapa kasus perkosaan disini, putusan hakim untuk kasus mengerikan ini terasa sangat ringan, kenapa? Karena kebanyakan dari mereka yang terlibat disini sudah terbeli kejujurannya. Kenapa mereka mau menjual kejujurannya sehingga melupakan kewajiban untuk menciptakan sebuah keadilan? Ada 2 opsi, hanya dua yang aku tau, yang pertama karena “Kebutuhan”, dan yang kedua karena “Paksaan”.
“Kebutuhan”.. disini kebanyakan korban berasal dari keluarga menengah kebawah. Pelaku terasa sangat santai tanpa perlu rasa takut untuk melakukan kejahatan ini, karena mereka selalu berdalih, dengan uang semuanya selesai, karena pikir mereka kalangan lemah seperti korban akan mudah menerima uang untuk mencukupi kebutuhan mereka dibanding berdiri, menegakkan kepala dan tetap teguh mencari keadilan.
“Paksaan”.. demi kepentingan sebelah pihak dengan alih-alih menjaga citra dan nama baik atau apalah hal lain yang ingin mereka jaga, mereka memaksa sosok yang tadinya berdiri tegak memasang badan untuk mencari keadilan berubah tunduk dan legowo menerima keadaan.. cara ini biasanya butuh kesinambungan dari beberapa pihak terkait, dan yang pasti keterlibatan orang sepertiku sangat besar mengambil bagian. Tentu saja masih dengan bahasa imbalan. Sumpah dan seragam kami tak luput terbeli selain kejujuran tentunya. Tapi banyak diantara kami yang sangat terbiasa seperti itu.
            Beda perkara tapi masalahnya sama “Kejujuran”. Lihat itu si “Pencuri” kayu.. berapa tahun putusan yang dia dapatkan, padahal kayu yang dia ambil demi menjaga nyala api dapur kecil mereka, demi memenuhi kebutuhan keluarga. Dan seberapa merugikan sih beberapa batang kayu itu untuk hitungan pengusaha yang tajirnya bisa beli tanah berhektar-hektar? Tapi dengan congkaknya dengan meniadakan rasa kemanusiaan mereka kaum atas tetap menuntut rugi dari apa yang sebenarnya tidak membuat mereka rugi sama sekali. Beda cerita kalau kaum atas itu mencuri uang rakyat yang bukan haknya, mau tidak mereka dihukum berat, jangankan setahun dua tahun yang aku rasa hukuman itu juga masih amat sangat terlalu ringan. Mereka malah menuntut bebas dengan tidak pernah mau mengakui kelakuannya. Sekarang.. kalau kita sama-sama menyebut mereka “Pencuri”, mana pencuri yang lebih biadab?.
            Sedikit banyak keterlibatan kami dalam hal-hal seperti diatas bukan lagi rahasia umum. Bahkan kami benar-benar akan menutup mata dan menganggap rasa kemanusiaan itu tidak pernah ada. Kami terbiasa menjual pekerjaan kami demi “Uang”. Siapa sih di dunia ini yang tidak membutuhkan uang, tapi apa hanya karena kita butuh kita jadi lupa bahwa ada sebagian dari diri kita yang terbunuh, hati nurani.
Memang tidak semua dari kami seperti itu, masih banyak diantara kami yang tidak terbeli. Mereka bekerja dengan hati, mereka bekerja karena Tuhan, dan merekalah yang selalu jadi pihak minoritas dikalangan kami. Terasa dan terlihat aneh ketika masih ada orang baik disekitar kita.. kebalik banget gak sih?
Aku yang hanya serupa aku tentu tidak akan bisa merubah apa yang sudah mengakar disini, siapa aku? Tidak bisa merubah bukan berarti harus seperti mereka juga agar tidak menjadi minoritas dikalangan sendiri. Ya.. aku memilih untuk menjadi bagian dari minoritas itu, kalau untuk memperbaiki mental dan moral mereka aku tidak mampu setidaknya aku bisa manjaga moral dan mentalku sendiri. Diperlakukan sebagai minoritas terkadang tidak menguntungkan, tapi inilah yang aku pilih, “kejujuran” adalah asset utama dalam hidup. Ibu selalu mengajarkan aku, “saat kamu butuh uang dan uang bisa membelimu, ingat kembali Tuhan dan tujuan hidupmu, semua akan baik-baik saja tanpa kamu menjual dirimu sendiri dan melakukan dosa bersama mereka.”
            Saat terdiam.. saat aku mulai lelah menjadi kaum minoritas.. saat aku melihat banyak ketidakadilan disini.. saat aku melihat mereka sibuk bernegosiasi harga “Kejujuran” mereka, rasanya mulut yang terkunci ini ingin berteriak lantang, bertanya ada setiap hati kecil mereka sebagai Aparatur Sipil Negara, “ADAKAH, INDONESIANYA?”.. masih adakah Indonesia dihati mereka. Akankah mereka terus membiarkan Indonesia jadi serendah ini. Untuk inikah dulu mereka mendaftar menjadi bagian dari Negara ini.. bukan untuk merubah Indonesia menjadi lebih baik melainkan untuk menjadi bagian dari kebodohan itu sendiri.. “ADAKAH, INDONESIANYA?..”



“ Terima kasih kita masih berjalan bersama, tembus badai opini dan tsunami hujatan “
-Untuk Sahabatku, dari album 32-

Minggu, 08 November 2015

"LARI" atau "HADAPI"



"RUNNING AWAY FROM YOUR PROBLEM IS A RACE YOU’LL NEVER WIN"

                Beberapa waktu yang lalu, aku sempat bertanya pada salah satu sejawatku, kalau aku dihadapkan pada dua pilihan untuk “Lari” atau “Hadapi”, kata mana yang harus aku jalani??? Dan untukku dia pilihkan kata “Hadapi”, lantas quotes yang menurutnya sok bijak aku kutip sebagai tagline ku kali ini.
“Hadapi”, sesimple ucapannya, kata ini mudah sekali untuk disebut. Aku rasa setiap orang yang berkesempatan hidup didunia pasti hampir sering mendapati kata ini sebagai penyemangat. Kadang akupun memakainya dalam beberapa kesempatan. Aku kecap sedikit sisa asin dari remah kue yang baru saja aku makan. Remahan kecil ini mengingatkan aku akan simbol kehidupan, yaaa... kadang aku melihat diriku seperti remahan sisa roti yang berceceran dilantai, untuk sekedar memungutinyapun segan apalagi memakannya. Itulah aku saat rota memutarku hingga hampir dibawah. Hampir, aku masih memilih kata hampir karena aku masih merasa aku bisa memutarnya sampai atas lagi.
                Tidak ada orang yang tidak pernah merasa jenuh, setuju?
Senyaman apapun hidup seseorang pasti akan ada masa dimana dia akan merasa jenuh, bosan dan mual dengan segala rutinitas hidupnya. Bahkan ada yang bisa dibilang, dia akan membenci pagi, siang, sore dan malamnya.
                Aku dan malam.
Sudah hampir 4 (empat) bulan ini aku seperti bermusuhan dengan malam. Selalu ada rasa takut saat langit yang disebut sebagai malam mulai menjumpaiku. Entah bagaimana awalnya, tapi yang aku tau, malam terasa lebih menakutkan sekarang, mungkin karena dia sepi, dan aku takut kesunyian. Aku terlalu sentimentil untuk urusan satu ini, tapi memang inilah yang aku rasakan, aku takut pada malam.
                Sesungguhnya andai kau tau bukan malamnya yang kutakuti, tapi “Diamnya”...
Selalu merasa sendiri, sepi dan kesunyian yang menusuk ini sungguh membuatku tidak nyaman, aku takut akan itu. Setiap malam menyapa, nyaliku turut surut. Aku benci sendiri, aku benci merasa sepi dan malam selalu menghadirkan dua hal tersebut.
Di sudut kotak no. 12 sekarang aku tinggal. Garis tepi yang sepi, dan malam... menyumbang kesepiannya lagi. Sedih tak lagi jauh dari hari-hariku, malam selalu menghadiahkannya kepadaku. Karena malam gelappun datang, kesunyian tercipta sehingga sepi menyusupi hati, kalau sepi sudah mulai berkuasa apalah daya selain pasrah pada kesedihan.
                Aku tak sekuat tawa yang selalu kamu lihat. Dalam tawa itu tak kau lihatkah simbol permintaan tolong yang coba aku sampaikan dengan sehalus mungkin, atau aku terlalu halus hingga dengan sadarmupun, kamu tak mampu melihatnya?.
Aku tak semenarik topeng yang selalu bertengger pada permukaan seorang “Aku”. Aku cukup pantas disebut pecundang karena ini. Rasa takutku membuat aku kehilangan maksa dari sebuah kesunyian, kedamaian yang coba disiratkan. Semua beban pada otak, berhasil memanipulasi otot takut untuk berkontraksi seribu kali lipat lebih keras dari biasanya. Dan akupun kehilangan kata damai dalam suatu sunyi, terganti dan aku benci.
                Sampai kapan aku harus bermusuhan dengan rasa takutku sendiri?
“Hadapi”, satu kata terpilih yang ditujukan untuk aku. Takut ini akan terus ada kalau saja aku masih disini dengan keadaan yang sama. Lalu akan timbul pertanyaan menyusul “Kenapa tak kau coba merubah keadaan, kalau saja itu akan membuatmu lebih baik?”... pertanyaan bagus untuk ditujukan pada hati kecilku yang paling dalam.
Kenapa? Lantas kamu pikir aku bisa jawab apa, dan jawaban apa pula yang kau harapkan atas pertanyaan itu? Terlalu klasik..
Tak ada yang bisa dirubah kalau ini lebih dari sekedar merubah “aku”. Ada banyak hal lain diluar kendali sepasang tangan kecil yang terbatas ini. Tak bisa untuk dipaksa atau aku yang akan tersudut dan semakin tersentak. Hidup itu tak sesederhana meracik kopi...
Dimana dan siapa pembuat kopi terenak yang pernah kamu rasakan, apabila kamu boleh belajar padanya, berapa prosentase keberhasilanmu untuk menghasilkan kopi seperti... ah jangan seperti itu terlalu tinggi, mari kita ganti dengan mendekati rasa original buatan peracik aslinya? Tak akan mencapat 99%, aku bisa menjamin itu.
                Soooo... lihat lebih dalam, terkaitnya kopi dan suatu keadaan.
Hal boleh sama, usaha mungkin mendekati, tapi untuk hasil kita tak akan pernah tau. Dengan dunia yang baru beserta orang-orangnya lengkap dengan adat yang mengakar, aku harus mampu membaur dan menjadi bagian dari itu. Untuk apa yang aku kerjakan, untuk adat yang mengakar, aku bisa mempelajarinya dengn baik, hanya saja yang tidak aku bisa adalah berdamai dengan manusianya. Penerimaan yang baik belum aku lihat dari mereka... sebaik apapun aku mencoba berlaku dan berbaur dengan mereka, masih dan selalu saja ada hal buruk yang mereka bicarakan dibelakangku. Mereka terlalu senseitif untuk menemukan bahkan hal terkecil sekalipun dariku yang dapat mereka cela. Bagiku kini setiap harinya tidak ada hari tanpa cela, akupun tak mengerti aku harus menjadi seperti apa agar aku tidak terlalu terlihat berbeda.
                Aku sama seperti mereka, organ tubuhku lengkap, aku tidak tuli dan aku bisa berbicara, jalanku tidak pincang dan tanganku tidak panjang sebelah, lalu apa perbedaan yang selalu mereka permasalahkan?? Pola pikir? Bukannya pola pikir akan terbentuk dengan sendirinya sesuai dengan lingkungan, kebiasaan dan masing-masing manusianya toh, lalu kenapa kalau pola pikirku tidak sama dengan mereka, apa berbeda itu sebuah kiamat?
Aku tumbuh dan besar di Jawa, tempat dimana aku banyak menemukan sepingan diriku. Aku terbiasa hidup dengan masyarakat luas yang demokratis, yang tak banyak punya waktu untuk saling mencari-cari dengan sengaja kesalahan orang lain. Aku bisa memeluk gunung kapanpun aku mau, aku bisa bermain air dengan pantai dimanapun aku mau, bermain-main dengan si “Bola” orangane sampai kaki kram dengan lepas, membiarkan jari-jariku menari merangkai kata dan menggulirkan cerita dari apa yang aku mau, merangkul tawa bersama para jenius yang tersebut “Comic”, sahabat itu ibarat bintang, karena terlalu banyaknya sampai dimanapun kaki mencetak jejak mereka pun tercipta. Dan keadaan inipun terbalik seketika kala kakiku mulai menapaki tempat ini semakin jauh. Semua dariku direnggutnya perlahan, tak ada lagi pantai dan gunung untukku berteriak, mereka terganti dengan jajaran mall yang bising dan ribut. Tak pernah lagi tangan dan kaki ini berlari beriringan dengan pantulan bola orange yang banyak mengenalkanku pada kesenangan. Tawa yang selalu aku rindukan, tawa yang mereka ciptakan, hadirku diantara mereka sebagai anak bungsu yang tertatih belajar, sosok-sosok yang memberiku keberanian bercerita, kini lama tak ku jumpai. Para pengajar tak sengaja yang selalu menyuntikan kepercayaan diri untuk menulispun aku lupa. Jangan pernah berharap seorang sahabat sekalipun, karena untuk mendapat seorang yang baiknya tulus saja sulit kamu temukan, mereka baik...uhmmm... mungkin terlalu baik kalau saja hanya tampak dari muka, coba kamu buka lembaran berikutnya atau langsung pada halaman belakangpun boleh, kamu akan temukan siapa mereka sebenarnya, muka tulus mereka diiringi pisau tajam yang setiap saat siap menghujam tubuhmu tanpa ampun, tidakkah itu lebih menakutkan dari pocong atau sebangsanya?

                “Senja mulai menyapa dan gelisahkupun tiba”
Aku ingin pulang, ingin cepat pulang, sehingga aku tidak perlu lagi membohongi diriku sendiri terlalu lama.
Kawan, dari dua pilihan kata yang aku ajukan, maaf aku harus memilih “Lari”, kali ini aku tak sependapat denganmu. Karena bagiku “Hadapi” sama halnya bunuh diri. Aku pengecut, kau akan meneriakiku begitu, aku tak peduli, karena ada masanya dimana aku akan jujur pada diriku sendiri. Aku tak suka disini kawan, dan aku “Lari” bukan berarti takut menghadapi tidak, tapi aku lebih memilih berdamai dengan hati. Untuk apa aku tetap bertahan sementara hati tak tenang?.
                Satu setengah tahun, bergulat dengan waktu, mencoba merangkul ketidaktenangan tapi aku tak berdaya. Semakin aku memaksa untuk bertahan semakin banyak duri yang menusukku, semakin aku kuat menjejak tanah semakin goyah. Tawaku hanya sandiwara agar setiap orang menganggap aku baik-baik saja. Ceriaku sebatas topeng, agar hatiku yang rapuh tak tampak. Segala teriak dan hembusan nafas panjangku untuk memperkuat diri, aku takut aku lupa cara mengambil oksigen. Semua yang membebaniku bertubi datang sejalan dengan bergantinya warna langit, apa aku masih punya alasan untuk tidak takut pada malam? Dalam malam yang diam, aku menghadapi semua itu sendirian. Iya sendiri saja... hanya ada suaraku, desahan nafasku dan segala ketakutanku. Jadi ijin kan aku pinjam kakimu untuk membantuku berlari. Jangan lagi kau minta aku untuk “Hadapi”, aku hanya ingin berlari, sampai aku lelah dan lupa pada semua sesal, aku hanya ingin berlari sejauh mungkin, sampai jemariku dekat menyentuh ibuku. Kalaupun ada yang salah dengan keberadaanku disini, ialah AKU...

Jumat, 06 November 2015

Aku... Yang Terlewatkan

Sebuah Kata " KEMBALI"
Sesaat aku lupa... sampai ada satu kalimat menyadarkan akan adanya suatu keberadaan. Mencoba membuka kembali apa yang pernah aku mulai. Lupa rasanya memulai (lagi), wajar mungkin karena aku terlalu lama tenggelam dalam "Ketidak Terimaan". Hingga seorang sahabat lama kembali meniupkan nyawa pada jari- jari dan pikiranku. Memberiku sebuah tanda tanya besar kapan aku siap memulainya kembali.
Dan kawan inilah aku... Tulisan ini sebagai awal dan ucapan terima kasihku untukmu atas, tiupan semangat dan suntikan "Paksaan" untuk kembali ke duniaku yang dulu. 

Sudahkah kau dengar tentang semangatku yang lain hari ini? aku akan mewartakannya untukmu... Dengarkan..

Sepagi tadi aku menerima sebuah pesan singkat dari seorang sahabat kental yang lama tak ku jumpai. Dulu kami adalah seorang petualang yang punya dunia kami sendiri. Kami punya waktu kami sendiri dan kami punya tempat kami sendiri. Banyak hal yang dulu sering kami lakukan bersama, bahkan bisa dikata kami punya kesamaan "Nasib Sial" terlebih masalah hati... Hiss... Jangan kau tertawa karena kau tau banyak tentangku untuk satu hal ini. 

Ada kabar bagus untukku melepas rindu pada duniaku yang dulu dan aku sangat tertarik untuk bergabung menjadi salah satu pelakunya, setidaknyya ada sedikit hal yang sarat pengalaman dan membuatku sedikit berguna untuk orang lain. Sumba dan Berau, sempat kita mendiskusikan dua hal tujuanku nanti, dan kau memilihkanku Sumba, right???
Lama rasanya otakku ini tak terpakai untuk menulis semacam cerita atau hanya tulisan yang lebih dari satu paragraf lagi, paling seperti yang kamu tau hanya satu dua kalimat yang tershared tidak terlalu penting diMedsos. Aku ingin mengasahnya kembali, mencoba peruntungan dan kelihaianku mengolah kata demi kata lagi.

Aku tak terlalu pandai mengarang dan menyusun kata perkata hingga menjadi sebuah kalimat bahkan sebuah paragraf  yang cantik, tapi aku cukup bangga karena beberapa tulisanku berhasil memenangkan perhatian beberapa kalangan, bagiku itu adalah sebuah prestasi yang lebih membanggakan dibanding menjadi seorang juara kelas.
Tapi kawan, aku bahkan lupa bagaimana cara mengawali sebuah cerita sekarang...

Tinggal ditempatku yang sekarang membuat aku lupa akan suatu kegemaraan. Damn!!! aku terlalu sibuk untuk mengeluh dan terus mengeluh akan keberadaanku disini, aku membuang cukup banyak waktu luangku untuk menghajar diriku sendiri dengan rasa tidak terima. 
Sebentar, biar ku seduh secangkir kopi hitam kental tanpa gula dulu agar otakku kembali bekerja dengan baik, eh kawan... sudahkah kau minum kopimu hari ini??? hahaha rasanya kita hanya bisa saling join kopi lewat kata, maafkan kesombonganku selalu khilaf dan ingkar janji untuk bertemu, meminum kopi di senja dengan racikan cerita yang bergulir tenang dengan sendirinya.

Kota ini menyibukkan aku dengan segala kemunafikannya, jujur aku masih tidak terima berada disini, aku selalu merasa banyak hal terenggut setelah aku pindah kesini. Sikapku ini mungkin sama sekali tidak dewasa tapi itu harus aku akui, aku menjadi orang asing bagi diriku sendiri. Aku lupa kegemaranku, aku lupa kebiasaan yang selalu membuat aku merasa ada, aku lupa cara tertawa lepas, dan akupun lupa untuk menjadi tenang, karena hariku penuh dengan rasa khawatir. Kota ini aman kok, hanya saja kota ini belum menerimaku dengan baik, atau mungkin justru aku yang belum menerima keberadaanku, ah ini kalimat tanya yang terus membebaniku.

Itulah kenapa undangan yang aku terima pagi tadi seperti oase yang menyapa kesekaratanku. Aku rindu duniaku, rindu kebebasan itu dan semua hal yang dulu selalu punya ruang besar untuk aku nikmati. Kembali merasakan jari-jariku menari membentuk tulisan-tulisan, menceritakan semua yang terasa, terlihat dan terkenang. Kembali bersetubuh dengan alam, berbaur dengan isinya, mengenal hal baru, berbuat hal-hal besar (menurutku, karena ukuran pada masing-masing orang tentunya berbeda). Setidaknya kembali pada seperempat bagian dari aku yang beberapa waktu belakangan ini tertutup awan masalah yang silih berganti, ah... aku malu... lagi-lagi kau tau sedikit banyak tentang ini.

Pernahkah kau lihat awan lelah menemani langit??? jika kamu tak pernah melihatnya maka kau kan dapati aku sekuat itu.

Kuat... Kamu bisa jelaskan ke aku apa definisi dari kata "Kuat"?
Aku mungkin saja terlalu munafik saat berhadapan dengan kalimat "Aku kuat kok menghadapi semua yang terjadi belakangan ini." 
Jangan pernah percaya kawan karena untuk kalimat yang satu itu aku sangat jelas berbohong. Aku tak sekuat yang selama ini kamu lihat. Kalau kamu mau tau, bahkan aku terlalu cengeng untuk bisa disebut sebagai seorang yang sudah dewasa. Tanpa menjadi aku, aku lebih lemah dari yang kalian semua tau, dan tragisnya selama aku berada disini aku menjadi orang terlemah itu.
Aku tak pernah ingin orang lain mengalami apa yang terjadi padaku, itu kenapa aku ingin selalu menularkan hal-hal positif yang aku punya. Melihat banyak hal baru dan bisa membuat banyak orang merasa hebat dan bisa tertawa bangga adalah impian yang selalu ingin aku wujudkan. Menjadi bagian dari keberhasilan, bahkan untuk hal terkecil sekalipun. 
Ijinkan aku untuk selalu bisa berguna untuk siapapun, itu saja yang ingin aku minta.

Kesempatan ini aku tak mau menyia-nyiakannya. Bagaimanapun aku akan berusaha untuk bisa bergabung dan menjadi salah satu garis yang tercetak tak sengaja sebagai salah satu inspirasi bagi mereka yang mungkin saja berbeda dengan kita. Menularkan pada mereka, sedikit pengalaman hidupku yang semoga saja berguna untuk mereka. Mengajarkan sedikit hal yang aku tau dan melihat tawa mereka ketika mereka berhasil mempelajarinya dengan baik. Tak terlalu tinggikan anganku itu???
Kawan, apa kau mulai bosan dengan celotehku???
Jangan dulu, tahan sebentar lagi... masih ada sedikit hal yang ingin ku bagi.

Aku tak akan membahas masalah hati, kau tenang saja karena akupun malas untuk membahasnya. ini hanya tentang sebuah kemungkinan. Kalau aku menanyakan kepadamu lari atau hadapi, mana satu hal yang kamu berikan kepadaku???
dan dari kedua pilihan itu aku membutuhkan sebuah kesempatan, biarpun itu hanya sekali, aku hanya tidak ingin kembali menjadi seorang yang lebih hina dari munafik jika berlama-lama menunggu.

Jadi, aku harus "Lari" atau "Hadapi"?...

Sabtu, 10 Januari 2015

"GAMES"


Ini sudah lewat tengah malam... aku masih terjaga dengan angan yang entah berlarian sampai mana. 2015... ku tapaki awalmu dengan satu ketidak pastian. Pernah kau tau suatu ragu?

Aku mengenal ragu lewat suara, tatapan mata, gerak tubuh dan bahkan tulisan... kalau aku temukan itu dengan sempurnanya pada satu orang saja haruskah masih kaki ini harus terus berjalan bersamanya? Semua pasti bersepakat untuk mengatakan tidak. Tapi inilah aku... tetap berdiri dan masih mematung disini. Entah apa yang membuat aku teepaku hingga untuk berpikir melangkah saja aku sudah enggan. Bukan... ini bukan karena sesuatu memaksaku, tapi memang aku masih perlu berdiri di sini hingga kudapati apa yang menjadi keraguanku selama ini benar atau mungkin saja salah. Bukankah untuk itu aku masih berdiri di sini???

Berapa lama? Kadang pertanyaan satu ini terlalu menyulitkanku dalam menjawabnya. Aku pun tak tau sampai kapan aku berdiri di sini, sampai cukup lelah barang kali, tapi kiraku tidak karena kalau hanya lelah yang menjadi ukuranku... kurasa aku sudah cukup lama mengibarkan bendera putih dan menyerah. Lantas apa? TUHAN... ya Tuhan tau kapan aku harus berhenti berdiri di sini. Tuhan yang mengatur waktunya dan aku cukup harus menikmati segala proses yang terjadi. Melebur diantara ribuan cerita dan rencana dari-Nya. Entah akan jadi apa nanti, itulah misteri menarik yang sedang aku nanti.

Tuhan, alam dan waktu menyepakati ini. Pertemuan dan semua bumbu yang muncul diantaranya. Ini lebih dari sekedar jalan hidup... tapi inilah bagian dari kisah yang nanti akan aku bawa tumbuh. Cerita yang mungkin saja bisa aku sampaikan kepada kuping yang terobsesi akan informasi masa lamaku. Aku dengan cerita ini... dengan keraguan ini dan aku dengan waktu yang

Harusnya aku bisa memilih andai saja apa yang mau aku pilih masih bisa aku jadikan sebagai pilihan.

Harapan dari kemungkinan yang hanya 1%. Janggal kurasa saat kalimat barusan aku tulis. Tak hanya keraguan tapi juga kemungkinan yang mungkin saja tak mungkin. Mari kita mencoba memahami dengan perlahan...
kulirik sebentar jam analog pada ponselku, pukul 01.15 dini hari. Terlalu berat ku rasa apa yang akan aku obrolkan ini... tapi mungkin tidak juga karena apa yang akan ada hanya suatu kemungkinan. Bertemu dengan seseorang yang bahkan tak ada kecocokan sama sekali dengan kita, pasti suatu saat entah kapan semua orang pasti akan menemuan orang seperti ini, ini hanyalah soal waktu. Dan untuk aku inilah waktu dan saatku. Orang yang jauh dari apa yang menurut kita baik tapi justru orang itu yang punya kaitan lebih dengan kita. Menuntut kita untuk belajar dan terus belajar hingga bosan tak hentinya datang. 

Aku pernah bosan karenanya. Tapi aku tak punya alasan untuk berhenti karenanya. Aku lelah dengan semua alasan mungkin itu yang membuat aku berlari tanpa membubuhkan satu alasan di dalamnya. Kadang menjadi anak kecil kembali bisa membantu kita membentuk kekebalan emosi. Anak kecil tak memerlukan banyak alasan saat ingin melakukan sesuatu. Karena bagi mereka apa yang ada disekeliling mereka hanyalah mainan... dunia baginya hanya sebuah taman bermain yang luas yang kepadanya mereka bisa puas bermain sepanjang hari.  
Tanpa alasan... menikmati sebuah permainan... yang hanya akan ada sedikit tangis dan banyak tawa selama prosesnya. Inilah rumus yang saat ini kucoba bangun. Entah bagaimana endingnya yang aku tau ini hanya sebuah permainan yang sedang aku coba nikmati... tanpa alasan.