" Aku, sesederhana katanya, aku tak mewakili siapapun kecuali AKU. "
Renyah suara pagi ini membangunkanku. Suara-suara ayam yang entah milik siapa, burung bercicit seperti sedang meeting pagi, dan gas-gas kendaraan yang mulai memenuhi atmosfir bumi.
Aku, masih berada di dalah kotak kecil yang ku sebut kamar. Berusaha tak menghiraukan dunia, aku belajar mengacuhkannya. Aku, dengan kedua bola mata yang sudah bersinar segar, otak yang penuh beban sudah 100% sadar, badan yang brasa tertimpa karung beras berkarung-karung, meminta aku untuk tetap senyaman mungkin didekap kasur.
Aku, subuh tadi sempat ku lihat dengan jelas kabut tebal sisa hujan semalam. Aku, sepertinya lupa bagaimana rasa dingin, hingga saat kaki telanjangku menjejaki rumput, air embunpun tak memberi sensasi apa-apa. Aku, dan semua yang ada padaku. Aku, dengan semua yang terjadi padaku, ada alasan yang belum aku tau.
Tak pernah aku, berdiri serapuh ini. Gigitan semut merah kecil saja akan mampu menumbangkan aku.
Aku, yang menjauh dari dunia. Yang secara halus mengusir mereka dari seputaranku. Aku, bukan karena egoku. Aku, terlalu lelah, terus tampak tegar...tampil sempurna...wajah dengan topeng senyum...aku, ingin mereka tau!!!! Aku, rapuh...
Semua yang aku tau tentang dunia hanya menambah beban otak yang hampir karam karena kelebihan muatan. Ini bukan salah mereka, karena aku...aku, yang menjadikan setiap yang aku tau menjadi sebuah beban.
Otakku terlalu bodoh untuk mudah berkhayal, bermimpi dan berharap. Aku, tau ke-tiga hal itu yang membuat dunia ku terus abu-abu. Seolah otak yang bodoh ini tak bisa lepas dari hal-hal itu, meskipun berjuta kali harus terjungkal karenanya.
Aku, hanya ingin berhenti. Aku, ingin menjadi seperti mereka-mereka yang bahagia. Selalu ada tawa, otak bekerja dengan baik, dan tak perlu merasa sendiri saat semua ada.
Aku, rindu bahagia. Aku, rindu tersenyum. Aku, benci terluka. Aku, benci terus menjadi orang bodoh.
Kalau saja aku boleh meminta, aku ingin menjadi aku...
Apa itu tawa? Aku tak mengenalnya lagi setelah banyak hal memberiku tangis.
Lampu kamar ini jarang sekali aku hidupkan. Aku suka gelap seperti ini, karena aku tak harus banyak melihat. Biarlah abu-abu ini disini, kalau saja waktunya tiba, Pelangilah yang akan memberinya warna. Biarlah aku lupa bagaimana tertawa, tapi semoga aku masih bisa menjadi alasan seseorang untuk bisa tersenyum.
Dear Pelangi tak bisakah engkau cepat datang????
Tidak ada komentar:
Posting Komentar